METODE PENAFSIRAN FILOSOFIS DITAWARKAN DALAM LOKAKARYA DI BPHN
Pendidikan hukum lanjutan (continuing legal education; CLE) yang dikemas dalam bentuk rangkaian lokakarya adalah program rutin yang diadakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), dengan mengundang fasilitator dari berbagai sumber. Acara tersebut kembali diadakan baru-baru ini di Kantor BPHN, Cililitan, Jakarta. Dalam acara tanggal 8 Juli 2015, bertindak sebagai narasumber adalah dosen Business Law BINUS, Shidarta. CLE dibuka oleh Agus Subandriyo (Kapusren Legislasi BPHN), didampingi moderator Arfan Faiz Muhlizi, dengan mengambil topik tentang tawaran metode penafsiran filosofis dalam evaluasi peraturan perundang-undangan.
Menurut Shidarta, penelitian tentang dimensi filosofis peraturan perundang-undangan merupakan bentuk penelitian tersulit karena derajat keterukuran (measurability)-nya terbilang paling longgar. Oleh sebab itu, penelitian demikian biasanya diarahkan pada penelitian tentang asas-asas hukum. Ada begitu banyak cara pengklasifikasian asas hukum, sehingga butuh kejelian untuk memahami kategori-kategori asas mana saja yang sesuai untuk dilekatkan pada suatu produk hukum tertentu. Ia mempertanyakan begitu banyak asas hukum diwajibkan harus ada dalam suatu peraturan perundang-undangan, padahal belum tentu sejalan dengan filosofi yang dikehendaki dalam peraturan itu. Misalnya, ia memberi contoh asas kekeluargaan yang ada dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan wajib mengandung asas kekeluargaan yang menurut penjelasannya berarti setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. “Tidak jelas, bagaimana asas kekeluargaan seperti ini harus dituangkan di dalam materi muatan undang-undang yang membutuhkan ketegasan sikap seperti Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” ujar Shidarta. Penggunaan istilah asas kekeluargaan yang diidentikkan dengan asas musyawarah untuk mencapai mufakat sangat berbeda dengan maksud yang terkandung, misalnya dalam Pasal 33 UUD 1945.
Shidarta juga menjelaskan asas-asas hukum yang dapat berupa asas supra, asas fundamental, dan asas sekunder. Lapisan-lapisan asas ini terhubung dengan rumusan peraturan di tingkat paling konkret di jenjang bawahnya. Dalam lokakarya ini juga disampaikan konsekuensi dari asas-asas tersebut dan potensi konflik di antara asas ini. (***)