KOMPARASI SUNDA DENGAN JERMAN DALAM TESIS VON SAVIGNY
Oleh SHIDARTA (Juli 2015)
Beberapa hari lalu saya mendapat kiriman buku berjudul ‘Mooi Bandoeng’ yang ditulis oleh Mang Ucup (Robert T.S. Nio), terbitan Simponi Warta Media, Mei 2014. Sebagai pengunjung setia kota Bandung, buku ini menarik perhatian saya karena menyajikan banyak sisi, tidak sekadar foto-foto kuno dari kota yang konon ditetapkan berdirinya pertama kali oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendles dan Bupati Wiranatakusumah II pada tanggal 25 September 1810, bertepatan dengan hari peresmian jalan Groote Postweg (jalan Pos Besar).
Ada kutipan menarik yang ingin saya terkait pernyataan Mang Ucup. Menurutnya, sekalipun bahasa Jerman tergolong bahasa paling sulit dipelajari di dunia, namun dibandingkan dengan bahasa ‘urang-Bandung’ (Sunda), bahasa Jerman bukan apa-apa. Ia memberi contoh, kata jatuh (Fallen) dalam bahasa Jerman, ternyata memiliki begitu banyak varian di dalam bahasa Sunda, seperti GEBUIS, LABUH, GUMBRAK. Namun, kata beliau, kita masih menemukan sekian banyak variasi kosa kata yang lain. Mari kita ikuti daftar kata-kata Sunda untuk menggambarkan kondisi ‘jatuh’: (1) Titajong=jatuh tersandung, (2) tisoledat=jatuh terpeleset, (3) tikusruk=jatuh tersungkur, (4) ngajengkang=jatuh ke belakang, (5) murag=jatuh dari atas, (6) ngajungkel=jatuh terlempar, (7) titeuleum=jatuh ke sungai, (8) tikosewad=jatuh tergelincir, (9) tijungkel=jatuh dari motor, (10) tigebrus=jatuh terperosok, (11) kecemplung=jatuh ke air, (12) ngagolosor/morosot=jatuh meluncur, (13) tijongjolong=jatuh terpeleset, (14) tigedebru=jatuh badan seutuhnya, (15) tigulitik=jatuh terguling, (16) tikucuprak=jatuh ke dalam genangan air, (17) ngagubrak=jatuh dari tempat tidur, (18) kasirep=jatuh tertidur, (19) tijalikeuh=jatuh tidak sengaja, (20) kalenger=jatuh pingsan, (21) ngagulutuk=jatuh terguling, (22) tidagor=jatuh kepala terbentur, (23) tilelep=jatuh tenggelam, (24) melarat=jatuh miskin, (25) kojor=jatuh mati, (26) goblok=jatuh ketipu.
Lalu, adakah korelasi dari gambaran Mang Ucup ini dengan hukum? Karena Mang Ucup membandingkan antara bahasa Jerman dan bahasa Sunda, maka hal ini mengingatkan kita pada pernyataan Friedrich Karl Von Savigny (1779-1861), seorang ahli hukum Jerman yang kebetulan hidup dalam kurun waktu yang sama dengan kelahiran kota Bandung, atau tatkala kerja paksa pembangunan jalan lintas Jawa sedang berlangsung dengan memakan korban 30.000 jiwa. Kalkulasinya, dengan cakupan jarak 1.000 km jalan yang dibangun atas perintah Daendles itu, berarti tiap 1 km terdapat 30 jiwa pekerja rodi bangsa Indonesia yang melayang.
Savigny percaya bahwa hukum tumbuh dengan cara yang sama seperti tumbuhnya bahasa. Tesis ini menunjukkan keyakinan Savigny bahwa hukum memang tidak perlu dibuat (dipositifkan) oleh penguasa karena ia tumbuh mengikuti perkembangan masyarakat. Jadi, jika masyarakat berkembang, hukumnya juga berkembang.
Dalam tulisan Rudolf von Jheirng berjudul ‘Fredrich Karl von Savigny’ yang diiterbitkan dalam JAHRBÜCHER FÜR DIE DOGMATIK DES HEUTIGEN RÖMISCHEN UND DEUTSCHEN PRIVATRECHTS (Berkala Tahunan Dogmatika Hukum Perdata Romawi dan Jerman Modern) halaman 364-365, teradpat kata-kata sebagai berikut: “daß die Rechte nicht gemacht wären, sondern würden, daß sie hervorgingen, wie Sprache und Sitte, aus dem Innersten des Volks-lebens und –Denkens, ohne das Medium der Berechnung und des Bewußtseins.” Terjemahan bebasnya kurang lebih: “Bahwa hukum tidaklah dibuat, tetapi tumbuh seperti halnya bahasa dan budaya, bermula dari yang sangat bercorak kehidupan rakyat [primitif] dengan tanpa menggunakan perhitungan dan kesadaran.”
Menarik untuk mencermati apakah ada korelasi antara perkembangan masyarakat dan perkembangan bahasa? Jika benar ada korelasi dan korelasinya positif, maka tesis Savigny dapat diteruskan menjadi sebagai berikut: “Hukum berjalan seperti halnya bahasa. Hukum tidak dibuat, sama seperti bahasa juga tidak dibuat. Mereka tumbuh mengikuti perkembangan masyarakat. Jadi, jika masyarakat berkembang, maka bahasanya juga akan berkembang, dan hukumnya pun berkembang.”
Namun, benarkah kekayaan kosa kata bahasa Sunda yang jauh melebihi kosa kata bahasa Jerman (seperti pengamatan Mang Ucup dalam buku ‘Mooi Bandoeng’ di atas) menjadi indikator untuk mengatakan bahwa masyarakat Sunda jauh lebih berkembang daripada masyarakat Jerman? Atau, hukum yang dibentuk dan berlaku di Tataran Sunda berkembang lebih maju dibandingkan dengan hukum yang dibentuk dan berkembang di Jerman?
Jawaban atas pertanyaan ini tampaknya sudah ada di benak pembaca. Jika tertarik, pembaca boleh mengomentari. Sementara, tulisan ringan inipun kiranya cukup sampai di sini…! (***)
Published at :