SAATNYA KEJAHATAN KORPORASI DIATUR DALAM KUHP DAN KUHAP
Pertanggungjawaban pidana korporasi saat ini terbatas pada kejahatan-kejahatan tertentu, dan umumnya pidana diberikan kepada pengurus korporasi, meskipun beberapa putusan pengadilan yang dikuatkan Mahkamah Agung sudah memberikan sanksi pidana kepada korporasinya dalam bentuk denda atau pencabutan izin. Hukum acara untuk menyeret korporasi ke pengadilan masih menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sementara KUHAP sendiri belum memberikan tata cara persidangan bagi korporasi sebagai subjek hukum. Sementara itu, dalam konteks delik HAM di Indonesia, korporasi bukan sebagai subjek hukum. Oleh sebab itu, sudah saat dalam rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan KUHAP, dimasukkan aturan tentang pertanggungjawaban pidana korporasi.
Pernyataan di atas merupakan bagian dari pandangan dosen Business Law BINUS, Ahmad Sofian, saat tampil sebagai pembicara dalam dalam Workshop Perumusan Indikator Kejahatan Korporasi, yang diadakan oleh Focal Point Indonesia tanggal 16 Juni 2015. Kegiatan ini diinisiasi dalam rangka mengeksplorasi dan mengelaborasi berbagai kasus pelanggaran HAM oleh korporasi. Pada gilirannya kegiatan ini juga akan merumuskan indikator kejahatan atas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh korporasi. Penyusunan indikator ini sebagai usulan masyarakat sipil Indonesia dalam open-ended intergovernmental working group on transnational corporation and other business enterprises with respect to human rights yang bakal berlangsung di United Nations of Human Rights Council (UNHCR) Jenewa tanggal 6 Juli 2015.
Kegiatan workshop di Gedung Bina Desa Jakarta ini dihadiri oleh koalisi Focal Point Indonesia yang antara lain terdiri dari lembaga-lembaga seperti: Indonesia for Global Justice, Kontras, Kruha, Indonesia Human Rights Centre, Prakarsa, Yayasan Pusaka, Elsam, Infid, Komnas HAM, dan Walhi. Selain Ahmad Sofian, terdapat dua narasumber lain yang diundang dan menyampaikan paparannya, yaitu Wijanto Hadipuro (Universitas Katolik Soegijapranata), Henry Simarmata (praktisi hukum internasional dan HAM), dan Dianto Bachriadi (Komisioner Komnas HAM). (***)
Published at :