PENTINGNYA ETIKA PROFESI HUKUM DAN ‘GUN-MAN SITUATION’
Pada tanggal 15 Juni 2015, bertempat di Fakulas Hukum Universitas Pasundan Bandung, berlangsung acara diskusi tentang etika profesi hukum yang menampilkan salah satu dosen Business Law BINUS dan Ketua Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI), Shidarta, sebagai pembicara. Acara diskusi yang dikemas dengan format kuliah umum ini diikuti oleh para mahasiswa tingkat akhir fakultas hukum yang saat ini tengah menyelesaikan proses akhir penulisan skripsi mereka. Selain Shidarta, sejumlah ahli hukum lain juga diundang dalam rangkaian acara kuliah umum yang dijadwalkan berjalan beberapa hari, guna memberi pembekalan bagi mahasiswa terkait topik-topik yang berbeda.
Dalam kesempatan itu, Shidarta menjelaskan perbedaan konseptual antara moral, moralitas, etika, etiket, etika profesi, dan etika profesi hukum. Peserta juga mendapat pemahaman tentang pentingnya penghormatan atas etika profesi bagi penyandang profesi hukum. Menurut Shidarta, profesi hukum kerap berhadapan dengan pesakitan hukum yang tengah berada dalam situasi yang disebut oleh H.L.A. Hart (filsuf hukum dari Oxford University) sebagai ‘gun-man situation’. Dalam situasi demikian, orang yang menjadi pesakitan hukum tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus mengikuti keputusan-keputusan hukum yang dipaksakan berlaku bagi dirinya. Ia tidak bisa memilih siapa polisi yang harus menyidiki kasusnya, siapa jaksa yang harus menjadi penuntut umum, dan siapa hakim yang harus mengadili perkaranya. Orang ini hanya menerima secara pasrah. Oleh sebab itu, tambah Shidarta, diperlukan standar moralitas yang minimal harus dimiliki oleh semua penyandang profesi hukum.
Diingatkannya pula, dalam setiap organisasi profesi yang solid, pasti memiliki kepedulian yang tinggi padapenghormatan terhadapetika profesi masing-masing. Profesi tersebut wajib memiliki kode etik sebagai sebuah swakrama (autonomic legislation) yang disusun oleh organisasi tersebut tanpa perlu mendapat campur tangan kekuasaan negara. Oleh sebab itu, salah satu ciri dari profesi luhur (officium nobile) yang solid pasti tidak membutuhkan bermacam-macam asosiasi untuk menaunginya karena hal itu berpotensi mengurangi kewenangan asosiasi untuk menerapkan standar yang sama bagi pelanggar etika profesi itu. Seyogianya, tidak boleh sampai terjadi ada penyandang profesi yang keluar dari sebuah asosiasi profesi karena ia dijatuhki sanksi organisatoris, lalu kemudian dengan gagah berpindah sebagai anggota atau bahkan pengurus dariasosiasi lain yang serupa. Tindakan berkelanjutan seperti ini bakal mendegradasi keluhuran suatu profesi, termasuk profesi hukum yang memang kiprahnya bersinggungan langsung dengan masyarakat. (***)