OLEH-OLEH KECIL DARI MERAPI
Oleh SHIDARTA (April 2015)
Ada oleh-oleh kecil dari kawasan Gunung Merapi yang sempat saya kunjungi pada awal April 2015. Kali ini saya tidak bertolak dari arah Yogyakarta, melainkan dari kota Solo menuju ke Boyolali dan Selo pada pukul 07:00 pagi. Titik yang dituju adalah Ketep Pass, lokasi pemantauan aktivitas Merapi dari ketinggian 1.200 meter dari atas permukaan laut (dpl). Ketep Pass terletak di desa Ketep, Sawangan, Magelang, Jawa Tengah. Di lokasi ini terdapat museum dan teater yang menyajikan diorama Merapi dan film tentang letusan Merapi beberapa tahun lalu.
Saat sampai di Ketep Pass sekitar pukul 9:00 pagi, sudah cukup banyak bis-bis wisata bernomor polisi AB, memberi sinyal awal bahwa mereka membawa turis dari arah Kota Gudeg. Cuaca cukup cerah, sehingga ‘Puncak Garuda’ Merapi bisa terlihat jelas. Sejumlah penduduk setempat menghampiri para wisatawan, menawarkan jasa penyewaan teropong seharga Rp5.000 sekali pakai. Sayangnya, cuaca cerah di pagi itu tidak berlangsung lama karena dalam waktu kurang dari setengah jam kemudian kabut tebal segera menutupi pemandangan gagah kawah Merapi ke ketinggian 2.968 meter dpl.
Ketep Pass yang resmi dibuka pada tahun 2002, sesungguhnya kawasan wisata yang sangat potensial untuk dikembangkan. Desa Ketap memiliki panorama riung gunung karena selain Merapi, terdapat empat gunung lain yang bisa dinikmati dari tempat ini, yaitu Merbabu, Sindoro, Sumbing, dan Slamet. Sayangnya, Pemerintah Kabupaten Magelang seperti tidak punya gagasan lebih bernas daripada menyajikannya secara apa adanya. Diorama di dalam museum (Volcano Centre) tampak kusam, tidak terawat, dan berdebu. Tidak ada petugas yang tampak berjaga-jaga memandu pengunjung. Tidak heran jika pengunjung tidak betah bertahan lama menyaksikan foto-foto Merapi yang sepertinya tidak pernah dimutakhirkan dari waktu ke waktu.
Kesan yang sama segera menyeruak ketika pengunjung memasuki ruang teater yang dijanjikan akan memberi informasi lebih tentang Merapi. Tapi, jangan berekspektasi berlebih jika tak ingin kecewa. Pengetahuan pengunjung yang harus membayar karcis masuk Rp7.000,-/orang tak bakal bertambah signifikan antara sebelum dan sesudah memasuki ruangan teater berkapasitas 70-an orang ini. Selain kualitas filmnya yang pas-pasan (kendati disadari mungkin sebagian film diperoleh dari cameraman amatiran), teknik editing film berdurasi hampir 30 menit ini juga tidak profesional. Ledakan lahar panas dengan gelegar dentuman Merapi terus diulang-ulang sekitar 10 menit sehingga terasa membosankan. Teks dalam bahasa Inggris yang menyertai narasi dalam bahasa Indonesia juga menyodorkan kekeliruan gramatikal di sana-sini. Padahal, pesan yang ingin disampaikan dalam film ini cukup menarik, khususnya bagi pengunjung yang datang dari kultur non-Jawa, yakni tentang nuansa magis dan keterikatan kultural masyarakat sekitar Merapi pada gunung pujaan mereka. Merapi tidak hanya sesekali mendatangkan bencana, tetapi juga berkah melimpah bagi penduduk lokal.
Bertolak belakang dengan pesan di film tersebut, aroma kultural Jawa sama sekali tidak terbangun di kawasan Ketep Pass ini. Restoran yang bercokol persis di atas Vocano Theater justru bertuliskan besar-besar “Chinese Food” dan “Sea Food”. Label resto ini layak mengernyitkan alis saya. “Tidak jelas apa enaknya jauh-jauh ke kawasan Gunung Merapi jika tokh harus menikmati kuliner masakan laut,” keluh teman seperjalanan saya yang merasa perutnya mulai lapar dan semula ingin makan di tempat itu. Pengunjung barangkali bisa saja mendapati kuliner khas Magelang atau Selo, seperti jada dan tempe bacem, di warung-warung penduduk yang berjejer di seputar arena, namun kualitas jajanan dan keamanan pangan yang ditawarkan pasti berada di luar tanggung jawab pengelola objek wisata tersebut.
Seandainya saja pengalaman berwisata di daerah ini bisa dikemas secara eksotik dengan memadukan wisata ilmiah sekaligus kultural, dapat dipastikan Ketep Pass akan menjadi magnit turisme Jawa Tengah. Apalagi kawasan ini relatif dekat dengan Solo, Sleman, dan Magelang, sehingga paket wisata bisa didesain dengan mencakupi beberapa objek utama di kawasan Jawa Tengah dan Yogyakarta. Berdampingan dengan Ketep Pass juga ada beberapa spot menarik seperti Air Terjun Kedung Kayang yang bisa dicapai dengan berjalan kaki. Di kawasan seputar Magelang juga terdapat konon sekitar 50 candi Hindu dan Buddha, mulai dari yang besar-besar dan terkenal seperti Borobudur, Mendut, dan Pawon sampai pada candi-candi relatif kecil seperti Candi Ngawen, Lumbung, Asu, dan Pendem.
Rekomendasinya mungkin terkesan klasik, yakni perbaiki infrastruktur jalan (khususnya dari arah Boyolali-Selo), benahi kebersihan di area kunjungan wisata, lengkapi fasilitas museum dengan sumber informasi dan pemandu yang handal, hadirkan dimensi kultural dalam bentuk atraksi budaya yang relevan (termasuk sajian kuliner khas) yang menampilkan kedekatan masyarakat setempat dengan eksistensi Merapi. Pastikan setiap pengunjung akan mendapatkan oleh-oleh tambahan pengetahuan dan kedekatan budaya setiap kali mengunjungi kawasan indah seperti ini. Jika hal ini bisa dipenuhi, saya yakin akan banyak pengunjung yang berjanji akan datang lagi ke sana… (***)
Published at :
Leave Your Footprint
-
Habibie Muhammad Sangat edukatif sekali pak 🙂
menjadi rekomendasi wisata alamiah pak