INVESTASI PULAU-PULAU TERLUAR DI INDONESIA
Oleh AGUS RIYANTO (April 2015)
Pilihan ini menjadi serba-sulit, namun keputusan berani haruslah diambil untuk mengakhiri banyaknya dilema tentang pulau-pulau terluar di Indonesia. Dilema pulau-pulau terluar itu adalah isu dijualnya pulau-pulau terluar, kelemahan pengelolaan pulau-pulau terluar oleh pemerintah daerah, kurang dimanfaatkannya pulau-pulau terluar dab kurang minatnya investor (khususnya dari luar negeri) untuk menanamkan modalnya. Untuk itu adalah suatu terobosan dan keberanian berita bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Rido Batubara dari Direktur Pendayagunaan Pulau-pulau Kecil KPP di Jakarta, Rabu (Kompas 16/4/2015). Ia mengemukakan, bahwa saat ini sudah teridentifikasi 300 pulau kecil yang berpotensi untuk ditawarkan. Dikatakan berpotensi karena telah memenuhi kriteria, seperti aksesibilitas cukup baik, terumbu karang dalam kondisi bagus, dan sumber daya manusia. Telah terdata 100 pulau kecil untuk dikelola investor paling lambat akhir tahun ini.
Setelah wacana tersebut, yang terjadi adalah pro dan kontra yang mengemuka. Pihak yang menolak berpendapat bahwa terlalu dini membuka kesempatan investor menanamkan modalnya di pulau-pulau terluar sehingga perlu telaah yang mendalam terkait rencana tersebut. Pendapat lain berpandangan bahwa penawaran investasi pulau-pulau terluar untuk investor dalam dan luar negeri dinilai menunjukkan pengabaian pemerintah terhadap peran serta masyarakat lokal. Di sejumlah wilayah, masyarakat lokal hampir tidak dilibatkan dalam pengembangan ekonomi wilayahnya, bahkan cenderung tergusur oleh investor. Perhatian Pemerintah pusat lebih berat kepada upaya menggenjot penerimaan pajak atau penerimaan negara bukan pajak dari izin lokasi dan pengelolaan yang akan diberikan. Padahal, investasi asing demikian yang beroperasi tanpa pengawasan yang ketat, berpotensi menggusur masyarakat di pulau-pulau tersebut. Terlepas dari pro kontra untuk menerima atau menolak rencana tersebut, tampaknya akan lebih baik jika kita mengambil sikap positif dengan memperhatikan hal-hal di bawah ini.
Pertama, filosofi Pasal 33 UUD 1945. Hal ini untuk dapat menepis segala keraguan dan ketidakpercayaan. Pasal 33 UUD 1945 seharusnyalah menjadi induk dari semua peraturan turunan selanjutnya, sehingga tidak ada keraguan terhadap dugaan bahwa apabila investor menginvestasikan modalnya, maka pulau-pulau itu akan dikuasai dan sekaligus dimilikinya, sebagaimana hak milik warga negara Indonesia, oleh investor (terutama investor asing). Dengan berpegang teguh pada nilai filsafat yang ada di dalam pasalnya, maka sangat jelas bahwa tidaklah mungkin pulau-pulau terluar itu akan dijual. Sebab, bumi, air dan kekayaan alam yang ada hanya dapat dimiliki dan dikuasai oleh negara, sehingga menjadi tidak masuk logika jika pulau-pulau terluar itu akan dijual apalagi kepada investor asing. Dengan dasar ini, maka kekhawatiran selama ini tentang hal tersebut seharusnya terbantahkan.
Kedua, regulasi yang ada tidaklah mencukupi. Dengan mengacu pada UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, khususnya Pasal 26A jelaslah dibuka kesempatan kepada penanaman modal asing untuk pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya dengan syarat harus mendapakan izin Menteri. Syarat ini harus dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional, dan mendapat rekomendasi dari Bupati/Wali Kota setempat dimana pulau-pulau itu berada. Namun demikian jika hanya berpedoman kepada ketentuan itu adalah tidaklah cukup. Seperti juga kekhawatiran Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti bahwa investasi pulau-pulau terluar harus juga memperhatikan regulasi terkait, maksudnya ketentuan yang ada, misalnya dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Hal ini juga mengindikasikan bahwa di dalam masalah ini KKP tidak dapat bekerja sendirian, tetapi membutuhkan instansi negara lainnya seperti BKPM. Oleh karena itu perlu juga mengacu kepada pertanyaan apakah bidang investasi pada pulau-pulau terluar tersebut termasuk kedalam yang diperbolehkan investor asing masuk sebagaimana diatur PP No. 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.
Ketiga, menjadikan pulau-pulau terluar sebagai Kawasan Ekonomi Khusus Ekowisata Alam. Secara sederhana ekowisata alam dapat diterjemahkan sebagai suatu bentuk dari perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan demi kesejahteraan penduduk masyarakat setempat yang berada di pulau-pulau terluar. Ekowisata merupakan bentuk baru perjalanan ke area alami dan berpetualang yang dapat menciptakan industri pariwisa. Hal ini adalah bagian alternatif dalam usahanya memerangi kekhawatiran masuknya investor asing dalam pengembangan bidang usaha yang tidak dapat dikontrol. Artinya, ini adalah salah satu alternatif yang dapat dijadikan pertimbangan pihak-pihak yang akan mengambil keputusan tentang pemanfaatan atas pulau-pulau terluar di Indonesia. Dengan konsep yang demikian, maka terbuka keterlibatan penduduk di sekitar pulau pemanfaatan pulaunya, sehingga multiefeknya akan terasa di dalam peningkatan dari pendapatan ekonominya. Yang pada akhirnya adalah kesejahteraan tidak hanya dinikmati oleh investor saja, tetapi juga masyarakat umum yang berada dan hidup di pulau-pulau terluar tersebut, sehingga semua pihak menjadi diuntungkan karenanya. Sebuah kondisi yang berbeda dengan sebelumnya.
Keempat, dibukanya konsep perjanjian Built, Operation and Transfer (BOT). Pola bisnis demikian haruslah dibuka dan diwacanakan dengan mengundang investor (asing khususnya) sebanyak mungkin dan yang memiliki modal besar sementara negara memiliki pulau-pulau terluar yang prospektif, tetapi tidak memiliki modal untuk pengembangannya. Dalam hal ini investor asing diizinkan membangun, mengelola dan menjalankan pulau-pulau terluar di dalam jangka waktu, misalnya 25 tahun, tetapi setelah itu seluruh infrastruktur bangunan yang telah dibangunnya beralih secara otomatis kepada negara sebagai pemilik untuk selama-lamanya. Dengan demikian negara yang tidak memiliki modal pengembangan tidaklah berarti tidak dapat memajukan pulau-pulau terluar. Tentu saja konsep ini haruslah diikat dengan suatu perjanjian yang detail, jelas dan transparan dan dengan pengawasan ketat langsung dari pemerintah daerah sebagai garda terdepan. Dapat dikatakan bahwa BOT adalah pola kerjasama yang saling menguntungkan bagi negara dan juga bagi investor asing dalam pemanfaatan pulau-pulau terluar yang tidak terjangkau modal dalam pembangunan dan pengembangannya.
Kelima, pengalihan saham kepada pihak Indonesia. Pilihan alternatif kelima ini terjadi jika investor asing membangun, mengelola dan menjalankan sendiri pulau-pulau terluar, melalui badan hukumnya Perseroan Terbatas, sementara itu negara tidak mengeluarkan modalnya untuk pemanfatan pulau-pulau terluar tersebut. Artinya, negara hanyalah mengeluarkan izin pengelolaan (bukan kontrak kerjasama) pulau-pulau terluarnya dan investor asinglah yang menjalankannya sebagai operator terdepan. Namun demikian di dalam izin itu harus dibuka kewajiban investor asing untuk melakukan pengalihan sahamnya (divestasi) secara bertahap dan dalam waktu tertentu kepada pemerintah daerah maupun BUMN (sebagai wakil dari pemerintah pusat). Hal ini, karena semangat Pasal 33 UUD 1945 melarang investor asing menguasai dan memiliki pulau-pulau terluar itu, sehingga harus dibuka mekanisme hukum dalam bentuk pengalihan saham sebagai alternatifnya. Dengan demikian prosesnya berjalan di dalam kerangka koridor hukum dan investor asing akan memperoleh kompensasi dengan pembelian sahamnya oleh negara, sehingga tidak ada yang merasa dirugikannya dengan konsep pengalihan saham ini sepanjang adanya kesepakatan para pihak.
Berangkat dari kelima alternatif tersebut tidaklah harus berlebihan kekhawatiran kita menghadapi kemungkinan pendayagunaan atau pemanfaatan pulau-pulau terluar oleh investor asing. Hal ini karena tidak terjadi penjualan pulau-pulau dan tidak ada kepemilikan investor asing untuk selama-lamanya; yang ada berupa pengelolalan sementara dalam jangka waktu tertentu. Dengan catatan bahwa seharusnya investasi pada pulau-pulau terluar dengan persyaratan yang ketat dalam hal perizinannya dan dengan pengawasan langsung negara dengan ketat dan hati-hati. Untuk itu harus ada dukungan dan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dii dalam implementasinya. Melalui kerjasama yang konstruktif dan kondusif itulah, maka tujuan utama dari pemanfaatan pulau-pulau terluar menjadi kenyataan demi kemaslahatan dan kesejahteraan negara pada umumnya terbuka akan tercapai. Sebab, pembiaran pulau-pulau terluar adalah kebijakan yang harus diakhiri dengan mengedepankan pendekatan kemakmuran dan kesejahteraan dalam pemanfaatan pulau-pulau terluar di Indonesia dengan kerangka dasar hukum yang lengkap, jelas dan transparan sebagai bingkainya. Semoga. (***)
Published at :