SEMINAR EPISTEMOLOGI ILMU HUKUM KERJA SAMA AFHI DAN UMS SURAKARTA
Dengan mengambil tema “Pengembangan Epistemologi Ilmu Hukum,” Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI) dan Universitas Muhammadiyah Surakarta, menyelenggarkan seminar sehari di Kampus UMS pada tanggal 11 April 2015. Acara dibuka oleh Rektor UMS Prof. Dr. Bambang Setiaji dan Ketua AFHI Dr. Shidarta.
Dalam sambutannya, Rektor UMS menyambut baik inisiatif acara ini, mengingat tema-tema filsafat yang tergolong berat dan ‘kering’ seperti ini relatif jarang disentuh. Kecenderungan ini terjadi di hampir semua bidang ilmu. Pada kesempatan berikutnya, Ketua AFHI Shidarta yang juga adalah Ketua Jurusan Hukum Bisnis (Business Law) BINUS, menyampaikan apresiasi atas prakarsa UMS mengundang para kandidat doktor ilmu hukum untuk berkumpul dalam seminar tentang epistemologi ilmu hukum tersebut. “Ini semacam acara pemanasan untuk menuju ke Konferensi ke-5 AFHI tanggal 18-19 November 2015,” ujar Kelik Wardiono Sekretaris AFHI serta dosen Fakultas Hukum dan Program Magister Ilmu Hukum UMS, yang menjadi salah satu pemrakarsa acara ini.
Menurut Ketua Panitia penyelenggara seminar Rizka, S.H., M.H. yang juga kandidat doktor dari UMS Surakara, para pemakalah berjumlah sekitar 25 orang, sementara peserta non-pemakalah datang dari berbagai perguruan tinggi mulai dari Padang, Sumatera Barat sampai Jayapura, Papua. Setelah acara pembukaan, para peserta diajak memasuki sesi pleno yang menampilkan narasumber Dr. Bernard L. Tanya (Univ. Nusa Cendana, Kupang), Dr. Shidarta (BINUS), Prof. Dr. Khudzaifah Dimyati dan Prof. Dr. Absori (keduanya dari UMS Surakarta). Bertindak sebagai moderator, Dr. Natangsa Surbakti, Dekan FH UMS. Hadir dalam seminar ini terutama adalah para kandidat doktor ilmu hukum yang sedang menyelesaikan tahap penulisan disertasi mereka.
Beberapa narasumber dalam acara ini menyoroti keunikan ilmu hukum sebagai ilmu. Keunikan ini dapat dipandang sebagai kelebihan, tetapi tidak tertutup kemungkinan juga mudah disalahpahami. Keunikan ini, menurut Shidarta, terjadi karena hukum tampil sebagai gejala multifaset. Gejala ini membawa konsekuensi tidak hanya pada dimensi ontologis dan aksiologis, melainkan terlebih-lebih pada dimensi epistemologisnya. Kesulitan akan dirasakan oleh para penstudi atau peneliti hukum yang terbiasa memaknai hukum secara monolitik. Padahal, alasan keberadaan (rasion d’etret) hukum sangat berkaitan dengan fungsionalisasi hukum itu di tengah-tengah masyarakat. “Sebagai ilmu praktis, ilmu hukum akan dianggap berfungsi dengan baik apabila ia mampu menjawab kebutuhan konkret masyakarat,” tegas Shidarta. Polemik antara kubu normologis hukum (memandang hukum sebagai norma) dan nomologis hukum (hukum sebagai nomos) dirasakan akan kontraproduktif karena pilihan metodologis di dalam penelitian lebih ditentukan oleh formulasi permasalahan yang ingin dikaji dan dicarikan jawabannya. (***)
Published at :