PUTUSAN PRAPERADILAN KOMJEN BG DALAM EKSAMINASI PARA AKADEMISI
Bertempat di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat, tanggal 30 Maret 2015, berlangsung acara menarik berupa diskusi hasil eksaminasi putusan hakim tunggal hakim Sarpin Rizaldi nomor 04/Pid /Prap/2015/PN Jakarta Selatan, terkait praperadilan penetapan tersangka Komjen Budi Gunawan. Dalam kesempatan itu Ketua Jurusan Business Law BINUS, Shidarta, hadir sebagai narasumber sekaligus anggota majelis eksaminator putusan tersebut. Selain Shidarta, lima eksaminator yang lain adalah guru besar hukum pidana Universitas Andalas (Unand) Elwi Danil, ahli hukum administrasi negara Unand Yuslim, ahli hukum pidana Unand Shinta Agustina, ahli hukum pidana Universitas Indonesia Gandjar Laksamana, dan advokat Sudi Prayitno. Acara ini digagas bersama oleh Fakultas Hukum Universitas Andalas dan Transparency International.
Bersama Shidarta, dalam diskusi hasil eksaminasi tersebut tampil beberapa pembicara, yaitu A.J. Day (tenaga ahli Komisi Yudisial), W. Riawan Tjandra (dosen hukum administrasi negara Univ. Atma Jaya Yogyakarta), Khairul Fahmi (dosen hukum tata negara Univ. Andalas), Dadang Trisasongko (Sekretaris JenderalTransparency International Indonesia), dengan dipandu oleh Veri Junaidi dari Perludem.
Dalam paparannya Shidarta mengungkapkan perbedaan antara interpretasi dan konstruksi, serta teknik untuk memastikan apakah penalaran hakim dalam putusan ini bisa masuk ke dalam salah satu metode penemuan hukum itu. Apabila metode yang digunakan adalah interpretasi, maka basis unsur normanya harus dipastikan dulu, sehingga dari situ makna dari suatu terma bisa diperluas atau dipersempit. Hakim dalam putusan ini menggunakan basis terma “tindakan lain” (Pasal 77 dan 95 KUHAP beserta penjelasannya) untuk memperluas makna tindakan penyidik seperti penangkapan, pemasukan rumah, penggeledahan, dan penyitaan. Lalu, semua tindakan ini mencakup pula penetapan tersangka. Menurut hakim dalam putusan tersebut, semua tindakan penyidik ini memiliki karakteristik yang sama sebagai upaya paksa. Jadi, permis mayor hasil rumusannya adalah semua tidakan upaya paksa penyidik adalah objek praperadilan.
Sayangnya, ternyata tidak semua penangkapan dan lain-lain tindakan tadi bisa berujung ke penetapan tersangka. Artinya, bisa saja orang ditangkap dan seterusnya, tetapi tidak berujung di penetapan tersangka. Atau, bisa juga orang ditetapkan dulu sebagai tersangka baru kemudian dilakukan penangkapan. Artinya, penangkapan dan tindakan lain-lain itu mungkin saja berakhir sebagai tersangka, mungkin juga tidak. Bisa pula orang tidak ditangkap sama sekali, tetapi tetap menjadi tersangka sebagaimana terjadi pada Komjen BG. Dengan adanya ketidaksinkronan distribusi konsep-konsep tadi, di dalam penalaran hukum dapat dikatakan hakim sebenarnya sudah tidak lagi melakukan interpretasi, khususnya penafsiran ekstensif. Hakim sudah keluar dari basis normatifnya semula dan mencoba membuat basis normatif yang baru sama sekali.
Jika demikian halnya, berarti alternatif kedua adalah konstruksi. Jika hakim melakukan konstruksi berarti hakim sudah tidak lagi berpijak pada satu basis unsur norma semula. Hakim melakukan proses abduksi dengan “menculik” satu ketentuan untuk kemudian membuat konstruksi aturan yang baru. Hakim di sini memandang ada kemiripan antara pola penangkapan dan tindakan lain-lain itu, yang kemudian digambarkan sebagai upaya paksa dalam proses yustisia. Sekilas berarti ada payung normatif yang lebih general untuk menaungi terminologi penangkapan dan tindakan lain dalam proses penyidikan itu bersama-sama dengan penetapan tersangka.
Ternyata, jika konstruksi ini digunakan, maka definisi penyidikan yang dimuat di dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP harus ikut ditinjau ulang. Dalam ketentuan umum ini tercantum bahwa penyidikan itu memiliki dimensi epistemologi berupa tindakan mencari dan mengumpulkan alat bukti. Tindakan ini dapat berupa penangkapan, pemasukan rumah, penggeledahan, penyitaan, dan penahanan. Tujuan dari tindakan ini adalah untuk membuat terang suatu tindak pidana, untuk kemudian menemukan siapa tersangkanya. Di sini jelas bahwa penetapan tersangka adalah dimensi aksiologi dari penyidikan. Upaya paksa terletak pada dimensi epistemologi, bukan pada aksiologi penyidikan. Atas dasar penjelasan dari sudut penalaran hukum ini, dapat disimpulkan hakim sudah tidak lagi melakukan rechtsvinding, melainkan sudah rechtsschepping, yang notabene berada di luar kewenangan lembaga yudikatif.
Shidarta menegaskan pentingnya kegiatan eksaminasi seperti ini dilakukan oleh banyak kalangan, sebagai bentuk kepedulian masyarakat ilmiah terhadap kualitas putusan-putusan pengadilan. Menurutnya, minimal ada empat entitas yang harus diperhatikan oleh setiap hakim tatkala mengeluarkan suatu putusan, yaitu majelis hakim di institusi peradilan di atasnya yang mungkin akan memperkuat atau menganulir putusan itu, kemudian komunitas para ahli hukum, baru kemudian masyarakat luas dengan segala rasa keadilan yag dimiliki, serta para pihak yang terlibat dalam perkara itu.
Tidak mudah memang bagi hakim untuk dapat “memuaskan” ketiga entitas ini secara merata. Namun, sudah menjadi tuntutan profesional bagi hakim untuk mampu menuangkan pertimbangan hukum dan amar putusannya secara runtut, logis, dan bertanggung jawab secara etis dan akademis. (***)
Published at :