PERKAWINAN ‘ONLINE’ MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN
Oleh BAMBANG PRATAMA (Maret 2015)
Pemberitaan media belakangan ini dikejutkan oleh fenomena nikah siri online (daring dalam jaringan) atau perkawinan yang dilakukan di dalam dunia siber. Fenomena nikah siri online, merupakan fenomena siber yang mengejutkan di masyarakat karena disinyalir oleh MUI sebagai penyelundupan prostitusi dengan dalih nikah siri. Jika menggunakan konsep mens rea dan actus reus dalam hukum pidana maka ada dua hal yang perlu dicermati untuk menjawab fenomena siber ini, yaitu sikap batin dari pelaku dan perbuatan yang dilakukannya. Sebelum menerapkan konsep mens rea dan actus reus, maka konsepsi tentang dunia siber harus terlebih dahulu dijelaskan.
Dunia siber merupakan dunia baru yang unik sifatnya karena terbentuk melalui jaringan interkoneksi komputer. Hingga saat ini penamaan terhadap ‘dunia siber’ ini di kalangan ahli hukum berbeda-beda; di antaranya dikenal dengan sebutan dunia maya, dunia Internet, dunia tanpa batas, dan sebagainya. Menurut hemat penulis terminologi ‘siber’ merupakan term yang paling pas untuk digunakan seperti yang dikatakan Josua Sitompul dalam bukunya ‘Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw: Tinjauan Aspek Hukum Pidana tahun 2012.’
Sebutan cyberspace dari bahasa Inggris dapat diterjemahkan sebagai dunia siber/wilayah siber sehingga sebutan hukumnya menjadi cyber law (hukum siber) atau hukum yang mengatur dunia siber (cyberspace). Aktivitas di dalam dunia siber bukanlah ilusi semata tetapi lebih tepat jika dikatakan sebagai aktivitas nyata dengan pemanfaatan jaringan komputer. Alasannya: jika aktivitas di dunia siber adalah fiksi belaka, maka tidak akan ada sanksi yang bersifat nyata jika terjadi pelanggaran di dunia siber meski perbuatan yang dilakukan tidak ada interaksi fisik sama sekali.
Dalam konteks nikah siri online, perkawinan yang dilakukan tentunya tanpa kehadiran fisik antara kedua mempelai dengan saksi dan penghulunya di tempat yang sama, tetapi dilakukan di waktu yang sama di tempat yang berbeda. Dengan merujuk pada Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, syarat sahnya perkawinan, tepatnya Pasal 2 ayat (1) dan (2) dinyatakan bahwa sahnya suatu perkawinan adalah menurut agama dan kepercayaan. Perkawinan yang dilakukan juga harus dicatatkan, baik di Kantor Urusan Agama atau di Catatan Sipil. Kemudian asas perkawinan diatur dalam Pasal 3, yaitu dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh memiliki satu orang isteri. Jika suami ingin memiliki isteri lebih dari satu maka harus medapat persetujuan isteri dan pengadilan setempat sesuai dengan ketentuan Pasal 4.
Untuk menjawab apakah nikah siri melanggar ketentuan undang-undang perkawinan atau tidak, maka pertanyaan yang harus dijawab terlebih dahulu adalah: apakah nikah siri yang marak diberitakan itu dilakukan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Perkawinan? Jika tidak sesuai maka perbuatan tersebut berarti juga melanggar ketentuan Undang-Undang Perkawinan.
Kemudian timbul pertanyaan lain yaitu: bagaimana dengan perkawinan (di luar konteks nikah siri) yang dilakukan di dunia siber namun semua rukun dan syaratnya sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan: apakah sah menurut hukum? Harus diakui bahwa hal ini masih menimbulkan polemik, khususnya di kalangan umat Islam. Praktik ijab qabul perkawinan dengan menggunakan media telepon sudah beberapa kali terjadi. Pendapat yang moderat menyatakan bahwa perkawinan tersebut sah sepanjang dapat dijamin bahwa pihak-pihak tersebut sudah saling mengenal suara dan lain-lain, kendati tetap tidak dianjurkan. Analoginya sama dengan perkawinan dengan media Internet ini. Penulis sendiri berpandangan bahwa perkawinan demikian tetap sah sepanjang telah sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan. (***)