People Innovation Excellence

PENAFSIRAN DELIK PENCEMARAN NAMA BAIK

Oleh AHMAD SOFIAN (Maret 2015)

Belakangan ini ramai dilaporkan kasus-kasus pencemaran nama baik ke kepolisian. Dan, yang lagi hangat dibahas di media adalah laporan pencemaran nama baik terhadap seorang sastrawan dan juga penyair Saut Sitomorang oleh Fatin Hamana. Kasus ini diawali dari perdebatan sastra tentang layak tidak seseorang digelari sebagai Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Perdebatan ini berujung pada sebuah komentar Saut di Facebook yang mengatakan “Jangan berdamai dengan bajingan”. Ungkapan Saut ini dinilai telah melakukan pencemaran nama baik dan dituduh melanggar Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Kompas, 28 Maret 2015). Kasus-kasus pencemaran nama baik juga pernah menimpa Prita Mulyasari terkait keluhannya di media sosial, dan jaksa menggunakan pasal berlapis selain menggunakan pasal-pasal dalam UU ITE juga menggunakan Pasal 311 KUHP. Hampir sama dengan dengan kasus tersebut, yaitu kasus yang menimpa dua staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Andalas yang dilaporkan oleh Hakim Sarpin dengan tuduhan pencemaran nama baik berkenaan dengan putusan si hakim dalam sidang praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Dalam hukum nasional Indonesia, delik pencemaran nama baik selain diatur dalam UU ITE, diatur juga dalam Pasal 310-321 KUHP, dan delik ini sering disebut dengan delik karet karena delik ini sangat lentur dan dijadikan alat untuk mempidana siapa saja yang dianggap ‘berseberangan’. Delik ini juga sering dipakai untuk melumpuhkan lawan yang kalah dalam ‘perdebatan’. Pada masa penjajahan Belanda, delik ini dipergunakan juga untuk mengkriminalkan para pihak yang berseberangan dengan pemerintah kolonial. Sementara pada pada masa Orde Baru dipergunakan untuk memenjarakan lawan-lawan politik.

Delik pencemaran nama baik, seolah-olah berada dalam dua sisi yang bertumbukan, yaitu sisi kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi dan sisi sebagai delik yang mengganggu ketertiban di dalam masyarakat, sehingga perbuatan tersebut patut untuk dicelakan dan pelaku harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dengan perkataan lain, nilai-nilai moralitas lebih dominan dalam melindungi kepentingan masyarakat daripada nilai-nilai kebebasan. Pelaku pencemaran nama baik yang menimbulkan gangguan tata tertib tersebut dinilai sebagai subjek yang mengganggu nilai moral masyarakat.

Di negara-negara common law, pencemaran nama baik lebih cenderung masuk ke dalam ranah hukum perdata daripada ranah hukum pidana. Pencemaran nama baik (defamation) diartikan sebagai perbuatan yang membahayakan reputasi orang lain dengan membuat pernyataan yang salah kepada orang lain, atau pengungkapan kepada publik fakta-fakta pribadi seseorang yang masih menjadi rahasia umum, menyebarkan informasi yang dapat menyinggung perasaan orang, dan karena itu penggugat harus membuktikannya lebih dahulu di pengadilan atas kerugian atau situasi yang membahayakan tersebut (Garner, Black Law Dictionary, 1999 : 427).

Sementara itu di beberapa negara civil law, delik pencemaran nama baik yang awalnya masuk dalam ranah hukum pidana, sudah bergeser dimasukkan dalam delik hukum perdata, sehingga persoalan ini murni tidak melibatkan polisi dan jaksa untuk turut campur dalam persoalan privat ini. Pergeseran tersebut juga terjadi di Belanda, sehingga pasal pencemaran tidak dijumpai lagi dalam KUHP Belanda terbaru. Di beberapa negara civil law lain, meskipun dimasukkan di dalam KUHP, namun delik pencemaran nama baik dimasukkan dalam delik materiil, bukan delik formil. Konsekuensinya adalah harus menunggu akibat yang dilarang terjadi, jika ternyata delik pencemaran nama baik tersebut tidak menimbulkan akibat yang dilarang (misalnya membahayakan keselamatan korban atau menimbulkan kerugian pada korban), maka perbuatan tersebut belum termasuk delik.

Di Indonesia, delik pencemaran nama baik masih masuk dalam kategori delik pidana formil, artinya yang dilarang adalah perbuatannya meskipun sebenarnya akibat dari perbuatan tersebut menimbulkan sesuatu yang dilarang, ini tercermin dari rumusan Pasal 27 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE, rumusan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Karena itu sebaiknya rumusan pasal-pasal tersebut diubah menjadi rumusan delik materiil atau menghapuskan delik tersebut, sehingga murni menjadi delik perdata sehingga kebebasan berekspresi dan berpendapat benar-benar terlindungi tanpa ada perasaan khawatir akan dipidana. (***)


Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close