DUALISME ‘ETIKA DAN ETIKET’ DI MATA HUKUM DAN AGAMA
Oleh SHIDARTA (Maret 2015)
Rupanya ada kebingungan masyarakat, termasuk mereka yang berkiprah di media massa, atas dua istilah yang berdekatan ‘etika’ dan ‘etiket’. Seorang pejabat yang senang ceplas-ceplos dengan para wartawan dikabarkan akan diajukan ke sidang hak angket di parlemen daerahnya karena dianggap tidak cukup “beretika”. Acara talk-show di media massa mengangkat isu ini dengan memberi judul besar-besar. Masih dengan terminologi ‘pelanggaran etika”. Rupanya ada kerancuan pemahaman di sini, antara etika dan etiket. Beberapa peraturan yang memuat kata-kata ‘etika’ ini juga kerap dikutip oleh para politisi akhir-akhir ini, seperti Pasal 67 poin d Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan TAP MPR Nomor 6 Tahun 2001 tentang Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, tafsir maknanya justru cenderung diplesetkan ke ranah etiket, bukan lagi etika.
Apa beda di antara keduanya? Etika adalah perenungan tentang moralitas, sedangkan etiket adalah sopan santun yang kontekstual. Etiket bertamu, etiket di meja makan, etiket berlalu lintas, etiket bertelepon, dan sebagainya. Jadi, jelas ada perbedaan antara etika dan etiket. Etika lebih berkutat pada isi atau substansi tentang moralitas, sementara etiket lebih pada tata cara komunikasi atau berinteraksi dengan sesama. Tatkala pembicaraan antara seorang wanita anggota DPR dengan seorang wanita wakil perusahaan tersadap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa tahun lalu, mereka berdua berbicara tentang apel malang dan apel washington. Mereka dengan sangat sopan dan penuh persahabatan berbicara tentang hadiah apel-apelan. Sangat beretiket. Namun, substansi pembicaraan ini di kemudian hari terungkap merupakan upaya transaksi ilegal kepada pejabat negara. Sangat tidak etis.
Mana yang lebih penting, etika atau etiket? Saya tanyakan hal ini kepada dua orang teman yang banyak berkecimpungan dalam perenungan moralitas dan kebetulan berangkat dari latar belakang agama berbeda.
Teman baik saya yang pertama, seorang ulama di dekat rumah, sempat saya tanyakan pertanyaan tadi, yang jawabannya sudah bisa saya prediksi. Ia serta merta mengatakan dua-duanya sama penting. Tidak lebih tidak kurang. Etika dan etiket sama pentingnya! Katanya, “Dalam Islam, kita selalu diajarkan untuk mengajak orang lain kepada sesuatu yang baik dan benar dengan cara yang bijak dan kalaupun harus membantah mereka, juga harus dengan cara terbaik pula.” Ia lalu mengutip satu ayat di dalam Surah An-Nahl:
Beberapa hari kemudian saya bertemu dengan teman karib di sebuah kampus di Bandung. Kami mendiskusikan hal yang sama, tentang etika dan etiket, serta akhirnya berujung pula pada pandangan agama terhadap dualisme etika-etiket tersebut. Ia menyodorkan saya satu kutipan Injil. Menurutnya, agama yang diyakininya mengajarkan tentang kasih. “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.” (1 Korintus 13:4-5).
Saya tentu mengamini jawaban-jawaban normatif ini. Berangkat dari kutipan ayat-ayat yang diutarakan itu, saya mencoba menangkap ide yang ‘nyambung’ dengan dualisme antara etika dan etiket, yakni bahwa kebaikan/kebenaran (jalan Tuhan) memang adalah moralitas yang harus diperjuangkan. Ini ada di wilayah etika, saya pikir. Cara penyampaian yang dianjurkan harus bijak. Hal terakhir ini merupakan domain etiket. Ironisnya, etiket lalu kerap dikonotasikan dengan kesabaran, kelemahlembutan, kesopanan, kerendahan hati, ketidaksombongan, dan sebagainya.
Tentu saja tidak dapat dibantah bahwa dalam situasi dan kondisi yang normal, pegangan normatif sebagaimana disebutkan dua teman saya di atas sangat layak untuk dijalankan. Namun, dalam situasi yang ‘darurat’ tatkala agregasi kejahatan terhadap korupsi, misalnya, sudah demikian masif, kasatmata, terang-terangan, berjamaah, serta telah melewati ambang batas rasa malu manusia kebanyakan yang waras, etiket yang normal-normal itupun menjadi layak untuk diragukan efektivitasnya. Himbauan untuk tidak korupsi sudah disampaikan. Komisi antirasuah sudah dibentuk. Contoh koruptor yang diseret ke hotel prodeo juga tak kurang-kurang banyaknya. Artinya, apakah masih relevan untuk berbicara tentang kelemahlembutan, kerendahan hati, dan kesabaran menghadapi situasi dan kondisi ‘darurat’ ini, tatkala korupsi sudah digadang-gadang sebagai extraordinary crime?
Akhirnya, kami bertiga sampai pada satu kesepakatan dalam diam bahwa etika adalah dimensi aksiologis yang harus dikejar. Etiket adalah cara, suatu epistemologis. Dalam situasi normal epistemologi adalah kelemahlembutan, kerendahan hati, dan kesabaran. Dalam situasi tidak lagi normal, epistemologinya harus juga berbeda. Si pelaku kejahatan yang destruktif ini harus diperlakukan dengan lebih keras, kendati tetap terukur. Dari sini lalu ada diterima gagasan untuk mempermalukan koruptor, memiskinkan koruptor, dan seterusnya.
Tulisan ini ditutup dengan harapan agar semangat anti-korupsi di negeri ini tidak menurun hanya karena tuduhan kita tidak cukup beretiket memperlakukan para koruptor kita. Ada suara-suara yang mengesankan bahwa fenomena “corruptors fight back” terjadi sebagai akibat KPK terlalu keras. KPK terlalu arogan dan tidak bisa bermanis-manis..! Rekan kerja saya yang ulama di atas sangat benar pula ketika ia lalu mengutip hadits yang justru meminta kita semua berani menyampaikan kebenaran sekalipun hal itu pahit” (قُلِ الْحَقَّ وَإِنْ كَانَ مُرًّا). (***)