PEMBATALAN PUTUSAN BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL
Oleh ABUD RASYID (Maret 2015)
Pasal 60 UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU AAPS) menyatakan bahwa ?putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak?. Dalam penjelasannya, kata ?final? ini dimaksudkan bahwa atas putusan arbitrase tidak bisa diajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali. Dengan kata lain, putusan arbitrase merupakan putusan pertama dan terakhir yang mengikat dan harus ditaati oleh para pihak yang bersengketa. Tidak ada upaya hukum yang bisa dilakukan terhadap putusan arbitrase tersebut.
Namun, Pasal 70 s.d 73 UU AAPS memberikan peluang bagi para pihak yang bersengketa untuk mengajukan pembatalan putusan arbitrase ke pengadilan. Menurut Pasal 70 UU AAPS, para pihak yang bersengketa dapat mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur: ?a) surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; b) setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau c) putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa?. Pasal ini memberi peluang kepada para pihak yang bersengketa untuk mengajukan upaya hukum pembatalan putusan arbitrase ke Pengadilan Negeri apabila salah satu unsur di atas terpenuhi. Menurut Munir Fuady, pembatalan putusan arbitrase ini bukan merupakan upaya hukum biasa, tapi merupakan upaya hukum luar biasa, tidak sama dengan dengan upaya banding dalam upaya banding dalam sistem peradilan biasa.
Selanjutnya pembatalan putusan harus didaftarkan ke panitera dan diajukan ke Ketua Pengadilan Negeri (pasal 70 UU AAPS). Dalam waktu 30 hari semenjak didaftarkan, Ketua Pengadilan Negeri harus memberikan putusan. Pihak yang mengajukan pembatalan putusan arbitrase harus memberikan alasan-alasan disertai dengan bukti-bukti. Apabila permohonan pembatalan putusan arbitrase dikabulkan, masih ada upaya hukum yang bisa dilakukan oleh para pihak yang bersengketa atas putusan tersebut dengan mengajukan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir. Dalam waktu 30 hari semenjak permohonan didaftarkan, Mahkamah Agung akan mengeluarkan putusannya. Dikarenakan Putusan Mahkamah Agung ini merupakan putusan pertama dan terakhir, maka tidak ada upaya hukum lagi yang bisa diajukan apabila ada para pihak yang bersengketa berkeberatan. (Pasal 72)
Terkait dengan penjelasan di atas, menarik untuk menganalisa secara singkat permohonan pembatalan putusan arbitrase dalam kasus yang diputuskan oleh Badan Arbitrase Syariah Nasional antara PT. Atriumasta Sakti vs. PT. Bank Mandiri Syariah (kasus No. 16/Th 2008/Basyarnas) yang diputuskan pada tanggal 16 September 2009. PT. Bank Mandiri Syariah, sebagai termohon saat itu, tidak menerima putusan Basyarnas dan mengajukan permohonan pembatalan putusan Basyarnas ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat dengan Perkara No. 792/Pdt.G/2009/PA.JP, di mana PT. Bank Mandiri Syariah sebagai Pemohon dan Majelis Arbiter Basyarnas dan PT. Atriutama sakti sebagai termohon 1 dan termohon 2.
Alasan yang diajukan PT. Bank Syariah Mandiri dalam Permohonan pembatalan ini antara lain: 1. Adanya tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa; 2. Isi amar putusan secara substansi tidak logis yuridis dan bertentangan dengan satu sama lain; 3. Adanya pelaksaan isi putusan arbitrase a quo bertentangan dengan sifat final dan binding; 4. Adanya isi amar putusan telah mereduksi dan/atau menghilangkan hak-hak pemohon yang dijamin Undang-undang dan; 5. adanya isi amar putusan melanggar ketentuan Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak mempunyai dasar hukum. Setelah mengkaji, akhirnya majelis hakim memutuskan menerima permohonan pemohon dan membatalkan putusan Basyarnas dengan alasan bahwa Termohon 2 terbukti melakukan perbuatan yang tidak jujur, hal ini patut dikategorikan sebagai perbuatan ?tipu muslihat? sesuai yang dimaksud dalam Pasal 70 huruf C UU AAPS.
Atas putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat yang membatalkan putusan Basyarnas tersebut, PT. Atriumasta Sakti dan Majelis Arbiter Basyarnas mengajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung (MA) dengan Termohon Banding adalah PT. Bank Syariah Mandiri. MA dalam putusannya No. 188 K/AG/2010 membatalkan putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat No. 792/Pdt.G/2009/PA.JP, menyatakan bahwa Pengadilan Agama tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara a quo. Pengadilan Agama telah melampui kompetensinya, seharusnya permohonan pembatalan putusan arbitrase, sesuai dengan Pasal 71 UU AAPS, diajukan ke Pengadilan Negeri. Kemudian, alasan pembatalan putusan arbitrase berdasarkan pasal 70 UU AAPS yang menyatakan adanya ?tipu muslihat? juga keliru karena tidak didasarkan putusan pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan harus diputuskan terlebih dahulu oleh pengadilan sesuai yang ditetapkan dalam penjelasan Pasal 70 UU AAPS. Selanjutnya, PT. Bank Mandiri Syariah mengajukan Peninjauan Kembali (PK), namun permohonan PK PT. Bank Syariah Mandiri ditolak oleh MA dengan putusan No. 56/PK/AG/2011 tanggal 1 Desember 2011. Intinya, putusan MA dalam PK menguatkan pendapat MA di tingkat banding.
Dari penjelasan perkara di atas, dapat dipahami bahwa pada dasarnya putusan arbitrase bersifat final, mengikat dan harus dipatuhi oleh para pihak yang bersengketa, namun permohonan pembatalan putusan arbitrase dapat diajukan ke Pengadilan Negeri dengan mengajukan alasan-alasan sesuai dengan unsur-unsur yang ditetapkan dalam Pasal 70 UU AAPS. Alasan pemohonan pembatalan putusan arbitrase ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Putusan pengadilan ini yang nantinya akan digunakan sebagai pertimbangan dalam memutuskan untuk mengabulkan atau menolak permohonan. Terkait dengan penjelasan Pasal 70 UU AAPS yang mensyaratkan alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebutkan dalam Pasal ini harus dibuktikan terlebih dahulu dengan putusan pengadilan, telah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan putusan No. 15/PUU/XII/2014. Menurut Mahkamah Konstitusi, Pasal 70 UU AAPS sudah jelas (expressis verbis), sehingga tidak perlu ditafsirkan lain. Sedangkan penjelasannya menimbulkan multitafsir, ketentuan itu bisa diinterpretasikan apakah alasan pengajuan permohonan harus dibuktikan oleh pengadilan terlebih dahulu sebagai syarat pengajuan permohonan pembatalan atau alasan pembatalan tersebut dibuktikan dalam sidang pengadilan mengenai permohonan pembatalan. Dua tafsir ini menimbulkan ketidakpastian hukum. Jika penafsiran pertama yang digunakan, maka akan ada dua proses pengadilan. Akibatnya, penyelesaian sengketa memakan waktu lama. Hal ini bertentangan dengan Pasal 72(3) UU AAPS yang menyatakan pembatalan putusan arbitrase harus diselesaikan dalam waktu 30 hari oleh Pengadilan sejak diterima.
Terkait dengan upaya hukum ?PK? yang dilakukan PT. Bank Mandiri Syariah, menurut penulis agak membingungkan, karena kalau kita merujuk secara konsisten pada Pasal 72 angka 4 UU AAPS, proses banding yang diajukan ke MA atas putusan Pengadilan Negeri dinyatakan sebagai tingkat pertama dan terakhir. Artinya upaya hukum banding merupakan upaya terakhir, tidak ada lagi upaya hukum lain lagi yang bisa dilakukan setelahnya. Seharusnya, menurut penulis, permohonan PK langsung tolak oleh MA. Terkait dengan kompetensi Pengadilan Agama sebenarnya juga menimbulkan isu tersendiri saat ini, pembahasannya relevan dengan tulisan penulis mengenai ?Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional?.