KISRUH APBD DKI: MENCARI SIAPA YANG BERTANGGUNG JAWAB?
Oleh PAULUS ALUK FAJAR DWI SANTO (Maret 2015)
Kisruh terkait rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah (RAPBD) telah menarik perhatian banyak pihak. Silang pendapat yang terjadi antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dan legislator di DPRD DKI Jakarta adalah satu contoh fenomenal. Masing-masing mengklaim sebagai pihak yang paling benar. Kisruh tersebut dalam beberapa hari ini mulai mendingin dan angin segarnya tampak mulai berangsur-angsur beralih membenarkan dan mendukung posisi Gubernur DKI.
Menarik untuk mencermati bahwa sikap tegas Basuki ini sangat berbeda dengan sikap yang diperlihatkan oleh gubernur-gubernur di provinsi lain. Hal ini bisa jadi karena ia adalah kepala daerah yang non-partisan, dalam arti di belakangnya tidak ada satu pun partai politik yang menjadi barisan pendukungnya. Walaupun tatkala ia naik ke jabatannya sekarang bersama Jokowi disokong oleh duet PDI-P dan Gerindra, Basuki tidak merasa perlu berhutang budi pada kedua partai itu. Basuki serta merta menyatakan mundur dari Gerindra saat isu pilkada langsung mencuat ke permukaan dan ia mendapati Gerindra sudah tidak lagi sejalan dengan pandangannya. Ia ingin kepala daerah tetap dipilih langsung oleh rakyat sebagaimana sekarang dipraktikkan, tidak dipilih hanya oleh wakil-wakil rakyat di DPRD, yang rentan terlibat kongkalikong.
Salah satu bentuk kongkalikong kerap terjadi saat penyusunan RAPBD. Partai-partai politik sering memanfaatkan momentum ini untuk menagih “kredit” yang dipersepsikan sudah diberikan kepada si kepala daerah. Di sisi lain, kepala daerah juga merasa berhutang kepada partai-partai pendukungnya, sehingga rela memberi konsesi-konsesi. Bukan tidak mungkin konsesi-konsesi tadi diwujudkan dalam format program “siluman” (sneaky items).
Basuki tahu bahwa sebagai gubernur dirinya adalah si pengguna anggaran (PA). Karena gubernur tidak dapat menjalankannya sendiri, ia dapat melimpahkan kewenangannya ke kuasa pengguna anggaran (KPA). Di dalam praktik, penanda tangan kontrak barang dan jasa dari pihak pemerintah adalah pejabat pembuat komitmen (PPK). Dengan demikian terlihat hierarkinya, yakni PA, KPA, PPK.
Menurut Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan, pejabat yang menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar pengeluaran atas beban APBN/APBD, bertanggung jawab atas kebenaran material dan akibat yang timbul dari surat bukti teresebut. Hal ini berarti para pejabat pengadaan (PA atau KPA), dalam melakukan hubungan hukum di bidang perjanjian pengadaan barang dan jasa, bertindak secara individu atau pribadi.Dalam hal terjadi kerugian negara, mereka wajib mengganti kerugian negara secara pribadi.
Jadi, memang sewajarnya gubernur sebagai pejabat tertinggi di tingkat provinsi harus sangat berhati-hati dalam proses perancangan APBD masing-masing. Mengingat item anggaran itu demikian banyak, mustahil seorang gubernur dapat menguasai item demi item pengadaan barang dan jasa itu. Dalam revisi yang diadakan pada Kamis, 19 Maret 2015 lalu saja ada sekitar 3.260 program yang harus dikoreksi mengikuti saran Menteri Dalam Negeri.
Di sinilah diperlukan transparansi dan akuntabilitas dengan menggunakan alat bantu teknologi informasi. Kisruh di Provinsi DKI Jakarta seharusnya menginspirasi semua pejabat di daerah untuk tidak lagi bermain-main dengan anggaran. Item demi item anggaran harus terbuka untuk dikoreksi oleh semua pihak yang berkepentingan, termasuk oleh pihak pers dan lembaga swadaya masyarakat. Tanpa perubahan sistem menuju ke e-budgeting, hampir mustahil dapat diberikan akses memadai para masyarakat yang melakukan pemantauan.
Para kepala daerah dan penyelenggara pemerintahan harus menyadari bahwa beban pertanggungjawaban penggunaan anggaran ada di pundak mereka. Anggota-anggota DPRD yang ikut merumuskan APBD suatu daerah, menurut logika hukum memang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena semua belanja pemerintah daerah dikeluarkan anggarannya oleh pihak eksekutif (pemerintah). Jika terjadi tindakan yang memenuhi unsur kerugian negara, maka para anggota legislatif itu dapat dengan mudah berkelit dan cuci tangan.
Bukan tidak mungkin, statistik yang diajukan oleh Garmawan Fauzi saat ia masih menjabat Menteri Dalam Negeri pertengahan Juli 2014, bahwa 86,22% kepala daerah tersangkut korupsi, embrionya disebabkan oleh kongkalikong anggaran. Tinggal sekarang nyali dari para kepala daerah untuk berani atau tidak menolak skenario yang disusun oleh oknum-oknum di DPRD yang mungkin juga telah bermain mata dengan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dan penyedia barang dan jasa dalam menyiasati karut marut penyusunan anggaran. (***)