KEMBALINYA HAK NEGARA DAN KESIAPAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI INDONESIA
Oleh AGUS RIYANTO (Maret 2015)
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan No. 008/PUU-III/2005 telah membatalkan seluruh pasal UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air Dengan dibatalkannya UU SDA. Hal ini berarti MK menghidupkan kembali UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan di dalam rangka mencegah kevakuman hukum hingga adanya pembentukkan UU yang baru. Keputusan MK itu juga telah mendudukkan kembali peranan negara, sebagai institusi konstitusional, untuk melakukan penguasaan air.
Hak penguasaan negara atas air diwujudkan dengan jalan membuat kebijakan (beleid), masih memegang kendali dalam melaksanakan tindakan pengurusan (bestuursdaad), tindakan pengaturan (regelendaad), tindakan pengelolaan (beheersdaad), dan tindakan pengawasan (toezichthoudensdaad). Kembalinya peranan negara ini menjadikan privatisasi air tidak dapat dibenarkan di Indonesia. Untuk itu, di dalam keputusan MK itu juga ditegaskan bahwa prioritas utama di dalam hal pengelolaan sumber daya air dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Sekalipun demikian, dalam putusan MK ini juga dimungkinkan negara memberikan izin kepada pihak swasta untuk melakukan pengelolaan air dengan syarat-syarat tertentu dan ketat. Dengan demikian pengelolaan sumber daya air tidaklah berarti menutup peran swasta untuk ikut berpartisipasi dalam pengelolaan air, namun peranannya menjadi terbatas.
Dibatasinya peranan pengelolaan air swasta dilatarbelakangi oleh beberapa hal. Pertama, kekhawatiran dampak liberalisasi air yang selama ini terjadi dan dilegalisasi oleh Pasal 6 ayat (2), Pasal 6 ayat (3), Pasal 7, Pasal 8 ayat (1), Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (1), Pasal 11 ayat (3), Pasal 29 ayat (3), Pasal 40 ayat (4) dan Pasal 49 UU UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Kedua, sebagai akibat dari liberalisasi air dengan kuatnya modal swasta, maka ada dugaan bahwa terjadi monopoli sumber daya air tidak dapat dibantah lagi. Hal itu dapat dilihat dari data Kompas (2 Maret 2015) yang menyatakan bahwa perusahaan air minum di pulau Jawa saja, yang tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) dikuasi oleh kurang lebih 100 perusahaan swasta seluruhnya. Ketiga, Sebelum adanya putusan MK, air adalah objek komoditas yang diperdagangkan (economic good), sehingga harga air menjadi tidak terkontrol dan menjadi bergantung pada penawaran dan permintaan di pasar yang dikuasai oleh swasta. Kondisi objek air yang menjadi komoditas ekonomi ini jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang meyatakan bumi, air dan kekayaan alam di dalamnya digunakan demi dan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Air, seharusnya, berfungsi sebagai barang milik publik (public good) dengan kewenangan penuh Negara untuk mengatur dan mengelolanya.
Dengan latar belakang dan besarnya kewenangan negara oleh keputusan MK, maka negara harus siap mengimplementasikan keputusan tersebut. Kesiapan itu dapat dimulai dengan membuat kebijakan yang dapat menekan harga air menjadi tidak mahal dan terjangkau oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Dengan harga demikian itu berarti negara telah berhasil mengembalikan hak setiap warga negara untuk menikmati air sebagai kekayaan alam yang terkandung di perut bumi Nusantara. Ini artinya, air tidak dapat lagi dikomersialkan. Untuk itu, negara dapat melakukan investasi pada fasilitas pengolahan, transmisi, distribusi, dan sambungan air ke rumah-rumah penduduk Indonesia. Dengan jalan ini, maka akses publik untuk mendapatkan air bersih dan layak minum akan dapat terpenuhi dengan baik. Negara (dalam hal ini pemerintah) juga harus segera melakukan penataan ulang dalam hubungan hukumnya dengan swasta yang selama ini telah menguasasi hampir seluruh pangsa pasar air minum kemasan. Hal ini karena peran pihak swasta dalam hal pengelolaan sumber daya air pada beberapa tahun ke depan diperkirakan masih akan cukup besar, sehingga tidaklah mungkin mengabaikannya begitu saja swasta, sementara Negara sendiri belum siap untuk dapat memenuhi kebutuhan air layak minum bagi seluruh rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, Pemerintah dapat melakukan negosiasi dengan swasta dengan tetap berpegangan teguh kepada putusan MK sebagai pedomannya. Kalaupun BUMN dan BUMD ingin ikut serta di dalam usaha bisnis air minum kemasan dan pengelolaan air untuk kebutuhan sehari-hari di masyarakat, maka pemerintah harus mau melakukan renegosiasi dengan swasta dengan semangat win win solution. Terakhir, yang terpenting adalah menyedikan dan memiliki dana yang cukup untuk membeli sahamnya milik swasta tersebut. Jika tidak dilakukan dengan koridor hukum korporasi yang berlaku dalam prosesnya renegosiasi itu, maka yang terjadi adalah muncullah gugatan dari pihak-pihak swasta yang merasa dirugikan. Semoga tidak terjadi. (***)
Published at :