People Innovation Excellence

MENGAKHIRI DUALISME DALAM MENJAGA DAN MENANGANI WILAYAH UDARA INDONESIA

Oleh AGUS RIYANTO (Maret 2015)

Wilayah udara suatu negara bukanlah area hampa tanpa kedaulatan. Kedaulatan negara itu ada sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 1 Convention on International Civil Aviation, Chicago 1944 yang menyatakan “The Contracting States recognize that every State has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory.” Pengakuan ini mengandung arti bahwa Negara berhak mengelola, mengendalikan penuh wilayah udaranya dan mewajibkan setiap pesawat udara yang melintasi wilayah udara negara lain harus memperoleh izin terlebih dahulu. Apabila izin tidak diperoleh, maka hal itu adalah bagian pelanggaran wilayah udara dan negara berhak menjatuhkan sanksi, dari menurunkan secara paksa hingga menembak jatuh pesawat udara tersebut. Menarik untuk dipertanyakan, meskipun telah ada instrumen hukum internasional yang meneguhkan dan memperkuat kedudukan kedaulatan wilayah udaranya, mengapa di Indonesia masih saja terjadi ada pesawat udara yang melintasi wilayah udara kita tanpa izin? Apakah ada dualisme di dalam penanganannya?

Berdasarkan reportase Republika (13 Nopember 2014), pelanggaran atas wilayah Indonesia tercatat pertama kali terjadi pada tanggal 2 Juli 2003 ketika lima pesawat militer F-18 Hornet milik Amerika Serikat melintasi pulau Bawean tanpa izin. Pesawat temput TNI AU kita lalu mengejar dan memperingatkan mereka hingga pergi keluar dari udara Indonesia. Sembilan tahun kemudian, pada bulan Juni 2011 pesawat angkut C17 Globe Master pernah masuk ke wilayah Indonesia tanpa izin. Pesawat angkut raksasa itu masuk lewat Pekanbaru, Riau. Pesawat dihalau keluar hingga ke Morotai. Masih di dalam tahun yang sama, pada tanggal 29 November 2012, pesawat sipil yang berisi wakil Perdana Menteri Papua Nugini dikawal ketat oleh pesawat tempur TNI AU selama 37 menit karena melintas tanpa izin. Namun, tidak ada aksi menurunkan secara paksa dan pesawat itu dibiarkan terbang kembali. Pada tanggal 30 September 2012 Pilot Cessna 208 berkebangsaan Amerika Serikat, Michael A. Byod, melintas tanpa izin di wilayah udara Indonesia, kemudian dipaksa untuk mendarat di bandara Sepinggan Balikpapan, Kalimantan Timur. Terakhir, pelanggaran izin melintas terjadi empat kali pada tahun 2014. Pesawat asing yang melintas di Sumatera Utara. Pesawat yang hanya berisi satu pilot asal Swedia itu dipaksa turun di Lanud Soewondo Medan [14 April 2014]. Pesawat asing diawaki dua pilot asal Australia terbang tanpa izin di Manado dipaksa turun ke Lanud Sam Ratulangi, Manado (22 Oktober 2014). Satu pesawat Singapura dipaksa mendarat di Lanud Supadio, Pontianak, saat melintas wilayah Kalimantan (28 Oktober 2014). Terakhir, satu pesawat Saudi Arabian Airlines dipaksa mendarat di Bandara El Tari, Kupang (3 November 2014).

Dengan memperhatikan dan mempelajari sejumlah insiden-insiden pelanggaran izin masuk pesawat asing ke wilayah udara Indonesia dapat diindentifikasikan bahwa masalahnya bermuara kepada tiga hal. Pertama, pesawat negara-negara tetangga sering kali melanggar wilayah udara Indonesia mendalilkan atau mendasarkan bahwa yang melanggar bukan pilot yang mengemudikannya, tetapi oleh operator pesawat dari maskapai yang bersangkutan dalam kedudukan sebagai pemilik pesawat tersebut. Hal ini, karena pilot hanyalah yang menjalankan perintah untuk mengemudikan pesawat. Konsekuensi dari masalah ini berakibat kepada sulitnya menjatuhkan sanksi kepada personal, karena pihak operatornya adalah badan hukum asing yang berada di luar yurisdiksi dan wilayah teritorial Indonesia. Kedua, sanksi denda yang terlalu kecil yaitu Rp60 juta terhadap pelanggaran atas wilayah udara di Indonesia oleh pesawat asing, meskipun ancaman hukuman Pasal 414 UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan sesungguhnya cukup tinggi. Pasal tersebut berbunyi bahwa setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara asing di wilayah Negara RI tanpa izin Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) UU ini dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 2 miliar rupiah. Artinya yang terjadi di lapangan adalah sanksi denda yang tidak maksimal di dalam menjatuhkan hukumannya. Sementara itu, biaya operasional pesawat Sukhoi yang harus dikeluarkan TNI AU dalam rangka melakukan pengejaran pesawat asing menghabiskan anggaran US$ 20 ribu atau sekitar Rp240 juta per jam. Artinya, terjadi ketidakseimbangan antara pengejaran dengan sanksi yang dijatuhkan Kementerian Perhubungan. Ketiga, kewenangan penyidikan untuk penanganan perkara pelanggaran izin pesawat terbang asing yang melintasi wilayah Indonesia adalah Penyidik PNS dari Kementerian Perhubungan sesuai dengan Pasal 399 dan 400 dari UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Ketentuan ini mempersulit di dalam penanganannya, karena TNI AU yang melakukan pengejaran, sementara hukumannya diberikan oleh Kementerian Perhubungan. Hal ini berarti ada dualisme penanganannya, sehingga terbuka perbedaan menghadapi dan menyelesaikan permasalahan ini.

Menghadapi masalah-masalah tersebut sudah seharusnya dilakukan perubahan dalam hal penanganannya. Dualisme penanganan pelanggaran haruslah diakhiri dengan memberikan kepercayaan penuh kepada TNI AU dari mulai perizinan, penangan kasus dan hingga kepada penjatuhan sanksi terhadap pihak pesawat asing yang masuk tanpa izin. Hal ini didasari kepada pemikiran bahwa memang TNI AU yang selama ini aktif menangani pelanggaran wilayah udara. Artinya, TNI AU tahu banyak bagaimana menghadapi dan menyelesaikannya. Untuk itu, Kementerian Perhubungan sebaiknya berbesar hati untuk menyerahkan kewenangannya kepada TNI AU. Hal ini dilatarbelakangi luasnya wilayah udara Indonesia dan terbatasnya alat-alat radar mendeteksi pelanggaran, sehingga sangat rentan wilayah udara dimasuki oleh pesawat asing. Sudah seharusnya dan waktunya TNI AU diberikan wewenang khusus untuk dapat melakukan penyidikan dan juga penghukumannya terhadap tindak pidana yang sifatnya kejahatan (termasuk juga pesawat melintasi wilayah udara tanpa izin) terhadap pertahanan dan keamanan nasional demi dan untuk menjaga kewibawaan dan kedaulatan Indonesia di wilayah udara. (***)


Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close