SEMINAR MENYOROTI GAGASAN KEADILAN SOSIAL SOEDIMAN KARTOHADIPRODJO
Nama Soediman Kartohadiprodjo (almarhum) yang dikenal sebagai guru besar yang peduli pada pentingnya pengkajian Pancasila sebagai filsosofi bangsa Indonesia, tampaknya makin melekat pada satu institusi pendidikan bernama Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung. Soediman memang pernah menjadi dekan di Fakultas Hukum Unpar. Secara regular perguruan tinggi ini menyelenggarakan lomba debat hukum memperebutkan Piala Soediman Kartohadiprodjo. Sebagai rangkaian dari debat ini, diadakan pula seminar yang mengambil topik “Mewujudkan Keadilan Sosial di Era Globalisasi Melalui Sistem Hukum”.
Dalam seminar yang berlangsung di Kampus Unpar tanggal 6 Maret 2015 tersebut, dosen dan Ketua Jurusan Business Law BINUS, Dr. Shidarta, S.H., M.Hum. diundang menjadi narasumber untuk menyoroti satu topik tentang gagasan Soediman Kartohadiprodjo tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Terkait dengan topik ini Shidarta menulis satu makalah untuk paparannya berjudul “Membaca Ulang Pemaknaan ‘Keadilan Sosial’ dalam Gagasan Revolusi Hukum Soediman Kartohadiprodjo. Pembicara lain yang diundang dalam acara itu adalah Elly Erawaty, S.H., LL.M., Ph.D., dan Prof. Dr. Koerniatmanto Soetoprawiro, S.H., M.H.
Menurut Shidarta, gagasan Soediman tentang keadilan sosial sangat berakar pada pandangan Soekarno tentang konsep kesejahteraan. Soediman lebih memilih memakai kata kesejahteraan sosial atau kebahagiaan daripada keadilan sosial. Gagasan ini membawa diskursus tentang kesejahteraan sosial kepada wacana negara kesejahteraan (welfare state). Shidarta mengatakan, dewasa ini negara kesejahteraan telah berkembang menjadi sebuah model negara hukum. Ia menunjuk pada tulisan Brian Tamanaha dalam bukunya berjudul “On the Rule of Law”. Ada tiga syarat yang ditetapkan oleh Tamanaha untuk dapat mencapai negara hukum kesejahteraan itu, yaitu demokrasi, isi hukum, dan hak asasi manusia. Shidarta kemudian mengulas pemikiran Soediman terkait isu-isu seputar demokrasi, isi hukum, dan hak asasi manusia.
Shidarta mengakui bahwa cukup banyak pemikiran Soediman yang terbuka untuk dikritisi. Misalnya, tatkala berbicara tentang demokrasi, Soediman secara terang-terangan mengapresiasi demokrasi terpimpin yang diintroduksi oleh Soekarno. Bagi Soediman inilah demokrasi yang orisinal dari bangsa Indonesia sebagai tawaran bagi penciptaan tatanan dunia baru. Soediman juga mengkritik konsep hak asasi manusia yang terlalu individualistis. Baginya, konsep kekeluargaan bagi bangsa Indonesia jauh lebih baik dari individualisme Barat.
Shidarta juga mengangkat isu tentang revolusi hukum yang memang banyak disebut-sebut oleh Soediman. Bagi Soediman revolusi hukum diarahkan pada pembentukan kesadaran hukum bangsa Indonesia yang harus diubah, keluar dari kungkungan alam pikiran khas penjajah kolonial Barat. Revolusi hukum berkaitan dengan politik hukum Indonesia yang ingin segera menggantikan hukum-hukum kolonial menjadi hukum yang Pancasilais. Namun, disadari oleh Soediman hal itu tidak mudah dilakukan dalam sekejap. Untuk itu ia menyarankan agar penafsiran hukum dengan semangat Pancasila itu harus dilakukan terhadap ketentuan-ketentuan yang kita wariskan dari Barat itu. Sekalipun demikian, Soediman tidak setuju ketika seorang menteri kehakiman bernama Sahardjo mengeluarkan surat edaran Nomor 3 Tahun 1963 yang meminta Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak lagi dianggap sebagai kitab undang-undang. Menurut Shidarta, hal ini memperlihatkan ambivalensi sikap Soediman.
Ditambahkan oleh Shidarta, upaya mengkritisi pemikiran Soediman harus dilakukan sebagai bentuk apresiasi para ahli hukum Indonesia terhadap tokoh-tokoh hukum Indonesia. Ia mengambil contoh tulisan-tulisan yang sudah diterbitkan oleh Epistema Institute yang mengkritisi pemikiran Satjipto Rahardjo, Mochtar Kusumaatmadja, Mohammad Koesnoe, Soetandyo Wignjosoebroto, adalah bagian dari penghormatan terhadap tokoh-tokoh hukum Indonesia oleh orang-orang Indonesia sendiri. “Apresiasi tidak harus ditunjukkan dengan puji-pujian, tetapi justru harus dengan kekritisan yang penuh respek,” demikian tandasnya. (***)
Published at :