PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA (Bagian 1 dari 2 tulisan)
Oleh ABDUL RASYID (Februari 2015)
Perbankan syariah di Indonesia saat ini berkembang dengan pesat. Berdasarkan laporan Otoritas Jasa Keuangan yang dimuat dalam Laporan Perkembangan Keuangan Syariah Tahun 2013 jumlah bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah semakin bertambah. Saat ini terdapat 11 bank umum syariah (BUS), 23 unit usaha syariah (UUS), dan 163 bank pembiayaan rakyat syariah (BPRS). Hal ini tentu sangat menggembirakan, meskipun total aset perbankan syariah secara nasional masih sangat kecil dibandingkan dengan perbankan konvensional, yakni dalam kisaran 5%.
Untuk mempertahankan perkembangan perbankan syariah ke depan, dukungan hukum (legal support) terhadap perbankan syariah dari berbagai aspek sangat diperlukan. Salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan adalah mengenai penyelesaian sengketa perbankan syariah yang mungkin terjadi antara bank syariah, nasabah, dan pemangku kepentingan (stakeholders). Seperti bisnis lainnya, sengketa di perbankan syariah juga tidak dapat dihindarkan. Oleh karena perbankan syariah didasarkan pada prinsip syariah (syariah based), maka mekanisme penyelesaian sengketanya juga harus berdasarkan syariah (in compliance with shariah).
Di Indonesia, pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa perbankan syariah adalah Pengadilan Agama. Semenjak tahun 2006, dengan diamendemennya UU No. 7 Tahun 1989 dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, kewenangan Peradilan Agama diperluas. Di samping berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawaninan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, dan shadaqah, Pengadilan Agama juga berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syariah [Pasal 49 ayat [i] UU No. 3 Tahun 2006]. Dalam penjelasannya, yang dimaksud dengan “ekonomi syariah” adalah ‘perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi: (a) bank syariah; (b) lembaga keuangan mikro syari’ah; (c) asuransi syariah; (d) reasuransi syariah; (e) reksa dana syariah; (f) obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah; (g) sekuritas syariah; (h) pembiayaan syariah; (i) pegadaian syariah; (j) dana pensiunan lembaga keuangan syariah; dan (k) bisnis syariah.”
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Pengadilan Agama berwenang menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Kewenangan tersebut tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syariah saja, tapi juga di bidang ekonomi syariah lainnya. Kemudian, kewenangan Pengadilan Agama diperkuat kembali dalam Pasal 55 [1] UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Namun, Pasal 55 [2] UU ini memberi peluang kepada para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perkara mereka di luar Pengadilan Agama apabila disepakati bersama dalam isi akad. Sengketa tersebut bisa diselesaikan melalui musyawarah, mediasi perbankan, Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain dan/atau melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui mekanisme penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan seperti musyawarah, mediasi, dan arbitrase syariah merupakan langkah yang tepat dan layak untuk diapresasi. Akan tetapi, masalah muncul ketika Pengadilan Negeri juga diberikan kewenangan yang sama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Terjadi dualisme penyelesaian sengketa dan ketidakpastian hukum serta tumpang tindih kewenangan dalam menyelesaikan suatu perkara yang sama oleh dua lembaga peradilan yang berbeda. Padahal, kewenangan ini jelas merupakan kewenangan Pengadilan Agama sebagaimana diatur dalam Pasal 49 (i) UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
Karena adanya ketidakpastian hukum seperti inilah, maka Dadang Achmad, Direktur CV Benua Engineering Consultant, pernah mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, memohon pembatalan Pasal 55 ayat [2]&[3] UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan syariah dengan alasan bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945. Pada tanggal 29 Agustus 2013, Majelis Mahkamah Konstitusi membuat putusan atas perkara Nomor 93/PUU-X/2012, mengabulkan sebagian permohonan Dadang Achmad, menyatakan bahwa penjelasan Pasal 55 ayat [2] UU 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Lebih lanjut dalam salah satu pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa adanya pilihan tempat penyelesaian sengketa (choice of forum) untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah sebagaimana tersebut dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU 21 Tahun 2008 pada akhirnya akan menyebabkan adanya tumpang tindih kewenangan untuk mengadili, karena ada dua peradilan yang diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah, padahal dalam UU 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama secara tegas dinyatakan bahwa peradilan agama yang berwenang menyelesaikan tersebut.
Dengan adanya putusan Mahkamah Kontitusi tersebut, maka tidak ada lagi dualisme dalam penyelesaian sengketa Perbankan Syariah. Pengadilan Agama menjadi satu-satunya pengadilan yang berwenang dalam menyelesaikan sengketa Perbankan syariah. Hal ini semakin mengokohkan eksistensi Pengadilan Agama di Indonesia, akan tetapi di sisi lain menjadi tantangan tersendiri, karena bidang perbankan syariah secara khusus dan ekonomi secara umum merupakan bidang baru yang sangat kompleks permasalahannya. Keraguan banyak pihak akan kemampuan Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah harus dihilangkan dengan membuktikan kecakapan para hakim di lingkungan peradilan agama dalam menyelesaikan sengketa-sengketa yang diputuskanya. Para hakim harus memiliki pengetahuan yang mendalam tentang ilmu ekonomi syariah, baik dari segi teori maupun praktik. Apabila diperlukan, di setiap pengadilan dibentuk hakim khusus dalam menyelesaikan sengketa perbankan dan keuangan syariah. Penandatangan Surat Keputusan Bersama [SKB] yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dengan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia tentang Kerjasama Pelatihan Hakim di Bidang Kebanksentralan dan Sektor Jasa Keuangan pada bulan Juli 2014 lalu adalah langkah yang patut diapresiasi dan harus ditindaklanjuti. (***)
Published at :
Leave Your Footprint
-
Safitri Ass. maaf pak, saya mau bertanya tentang: Mengapa dalam hukum perbankan syariah adanya Basyarnas. Apakah Basyarnas bisa memutuskan perkara yang baik dengan pengadilan agama. Padahal praktekhya, masih banyak perkara tentang Syariah di putus oleh pengadilan umum. Jdi, UU tentang Basyarnas tersebut berlaku atau tidak bisa di Indonesia. Terima kasih, ini saran saya. Mohon untuk jawabannya segera.
-
business-law Sebagian dari pertanyaan Anda sudah terjawab di dalam artikel yang saya tulis di atas. Tentu keberadaan Basyarnas tidak untuk menggantikan fungsi peradilan agama. Basyarnas menjalankan fungsi lain sebagai alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Pendirian Basyarnas tidak perlu harus dengan UU karena ia memang bukan institusi yang dibentuk oleh negara, melainkan oleh MUI. Dengan adanya alternatif ini, seharusnya tidak ada masalah karena berarti masyarakat dapat memilih forum penyelesaian sengketa yang paling sesuai dengan ekspektasi masing-masing pihak yang terlibat dalam sengketa.
-