IRASIONALITAS LARANGAN PERAYAAN “VALENTINE”
Oleh SHIDARTA (Februari 2015)
Hari ini, 14 Februari 2015, anak-anak muda di seluruh dunia memperingati Hari Kasih Sayang atau Hari Valentine. Beberapa Dinas Pendidikan tingkat provinsi dan kabupaten di Indonesia melarang peringatan ini. Alasan yang dikemukakan sangat sederhana, yaitu Hari Valentine itu tidak sesuai dengan budaya Indonesia, tidak sesuai dengan ajaran agama, mengajarkan anak-anak muda melakukan seks bebas, dan seterusnya. Seorang pejabat di Dinas Pendidikan sebuah provinsi di Jawa sampai-sampai berani menngajukan klaim bahwa Indonesia saat ini sedang mengalami “darurat seks”. Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba semua itu punya korelasi dengan “Valentine”.
Tidak dapat disangkal bahwa tradisi perayaan Valentine memang tidak beranjak dari bumi Indonesia, namun ada demikian banyak perayaan yang juga tidak berasal dari negeri ini. Natal, Maulid Nabi, Waisak, Imlek, juga bukan berangkat dari tradisi Indonesia, tetapi tetap diperingati secara berkelanjutan tanpa dihadap-hadapkan dengan budaya Indonesia. Tampaknya hanya negeri ini yang senang memakai argumentasi budaya untuk mengaksentuasi dalih-dalih politis terhadap sesuatu yang tidak disukai sebuah rezim kekuasaan. Imlek, misalnya, baru diizinkan untuk dirayakan secara terbuka setelah Pemerintahan Orde Baru lengser dari kekuasaan. Peringatan Hari Buruh tanggal 1 Mei juga pernah dikaitkan dengan ideologi kiri, sehingga tidak pernah direstui untuk diperingati sepanjang era Orde Baru.
Mengait-ngaitkan Hari Valentine dengan ajaran suatu agama, ternyata juga tidak memiliki cukup dasar yang kuat. Nama Valentine, atau St. Valentine, sekilas diambil dari tradisi Katolik Roma, tetapi sebenarnya tidak ada yang tahu pasti apakah orang ini benar-benar ada, dan jika ada–siapa dia sebenarnya. Kekaburan identitas inilah yang membuat Gereja Katolik menghentikan upacara liturgi untuk menghormati Valentine sejak 1969. Penelitian lain menunjukkan Valentine tidak lain adalah tokoh rekayasa yang diangkat dari puisi Geoffrey Chaucer tahun 1375. Popularitas figur Valentine membuat banyak negara mengajukan diri sebagai tempat peristirahatannya, seperti Vatikan, Irlandia, Prancis, Inggris, Skotlandia, dan Ceko.
Mengait-ngaitkan Hari Valentine dengan tradisi seks bebas juga sebuah “jumping to conclusion” yang menggelikan untuk diperagakan oleh sebuah otoritas negara bernama Dinas Pendidikan. Hakikat suatu perayaan, di mana pun di seluruh dunia, bisa sangat terbuka untuk disimpangi menjadi perbuatan yang bertentangan dengan moralitas. Peringatan pergantian tahun, misalnya, dapat dirayakan dengan penuh kekhidmatan sebagai momentum perenungan, tetapi dapat pula sebaliknya dijadikan ajang kumpul-kumpul anak muda untuk mabuk-mabukan, konvoi dengan mobil bak terbuka semalam suntuk, atau seks bebas. Hari Buruh dapat ditradisikan sebagai kesempatan masyarakat luas, terutama penguasa dan pengusaha, untuk memberi penghormatan atas jasa para buruh, namun dapat pula berubah menjadi identik dengan hari “ketakutan” bagi warga masyarakat karena akan berhadapan dengan aksi demonstrasi buruh secara besar-besaran yang memacetkan jalan-jalan utama ibukota. Hari Valentine sebenarnya berada pada tataran yang sama. Ia bisa diplesetkan ke arah positif maupun negatif. Dengan demikian melarang sesuatu yang sebenarnya bernuansa “netral” seperti itu adalah sebuah tindakan mubazir dan irasional untuk dilakukan oleh sebuah lembaga yang seyogianya mengajarkan orang-orang berpikir logis.
Larangan adalah operator norma yang membebani sanksi bagi para pelakunya. Norma berisi larangan tetapi tidak disertai sanksi yang bisa ditegakkan adalah sebuah lex imperfecta. Otoritas negara manapun yang berani menerbitkan satu norma, harus memastikan ia punya kemampuan untuk menegakkannya. Jika tidak, larangan tanpa kemampuan penegakan hanya akan memicu terjadinya “pembangkangan” sekaligus menggerus kewibawaan si pencetus norma. Norma-norma demikian hanya mungkin efektif jika ditegakkan dengan tangan besi, tetapi biasanya represi demikian tidak berlangsung lama. Begitu si pemegang kekuasaan jatuh tersungkur, masyarakat justru beramai-ramai mempraktikan “larangan” itu sebagai simbol perlawanan. Kondisinya mirip dengan larangan berambut gondrong dan menyanyi lagu pop “ngak-ngik-ngok” pada akhir 1960-an.
Di sisi lain, sesungguhnya gembar-gembor perayaan Valentine, sama juga seperti perayaan Tahun Baru Masehi, Natal, Idul Fitri, atau Imlek, lebih patut dicurigai menjadi strategi yang terus dipelihara sebagai pengajaran gaya hidup konsumtif yang diusung para kapitalis. Buktinya, pusat-pusat perbelanjaan rajin berhias diri mengikuti nuansa hari-hari raya tersebut. Nuansa warna hijau janur ketupat akan mendominasi mal-mal ketika Idul Fitri menjelang, namun akan buru-buru menjadi merah menyala tatkala Imlek mendekat. Konsumen digiring untuk berebut diskon dan syawat berbelanja pun terpicu. Gaya hidup “lebih besar pasak daripada tiang” dijadikan mode populer. Itulah sebabnya, harga-harga bahan sandang dan pangan justru terdongkrak ketika momen-momen Natal, Idul Fitri, dan Imlek. Bukankah gaya hidup konsumtif seperti ini juga bertentangan dengan ajaran agama?
Kementerian yang menangani pendidikan dan jajarannya (Dinas Pendidikan) seyogianya menyadari bahwa mengajarkan akhlak moralitas kepada anak-anak muda tidak akan pernah efektif dengan cara melarang ini dan itu. Akhlak akan jauh lebih efektif apabila diajarkan dengan suri teladan. Untuk itu, hentikan kebocoran anggaran, stop perilaku korup, perbaiki kesejahteraan para guru, perbanyak dan permudah akses terhadap informasi. Hal-hal ini jauh lebih esensial dipikirkan dan dilakukan oleh kementerian ini ketimbang membuat larangan yang irasional seperti ini. (***)