LEGISLATOR ARTIS
Oleh AGUS RIYANTO (Februari 2015)
Di Indonesia, kontroversi tentang kinerja yang tidak menonjol dan kualitas minus para artis menjadi legislator adalah realitas kehidupan wakil rakyat yang tidak terselesaikan. Tidak selesainya kontroversi tersebut disebabkan oleh ketiadaan regulasi yang melarang atau mengizinkan legislator artis itu untuk tetap menjalankan keartisannya setelah menjadi anggota dewan yang terhormat. Kekosongan aturan itu, konon, dalam periode DPR 2014-2019, akan diatur lebih lanjut dalam Bagian Kesebelas soal “Pekerjaan Lain di Luar Tugas Kedewanan.” Dalam Pasal 12 ayat (2) Rancangan Peraturan DPR tentang Kode Etik DPR, ditentukan bahwa “Anggota dilarang terlibat dalam iklan, film, sinetron, dan/atau kegiatan seni lainnya yang bersifat komersial, khususnya yang merendahkan wibawa dan martabat sebagai anggota”. Sebuah usaha yang seharusnya diapreasiasi, namun tidak sedikit pula anggota DPR dari kalangan artis menolaknya. Mengapa ada legislator artis menolaknya?
Legislator artis menolak karena alasan: jika regulasi itu diterapkan dengan segala konsekuensi, maka para artis yang menjadi anggota DPR itu tidak lagi dapat dengan leluasa menjalankan aktivitas pada dunianya dengan keuntungan material ekonomis yang selama ini dimilikinya (dengan tetap tidak melepaskan sebagai anggota DPR dan segala fasilitasnya). Artinya, sebagai anggota DPR tidak lepas dan side jobs-nya juga tidak hilang. Jadi, alasan penolakannya lebih ke pragmatis-ekonomikal.
Menurut penulis, legislator artis harus memilih dan menanggalkan profesi lamanya. Tanggung jawab dan kewajiban seorang anggota DPR tidaklah mudah, demikian pula artis yang menjadi anggota DPR harus berani menarik garis demarkasi antara tugas kenegaraan dan profesi keartisannya. Ia harus membuat pilihan yang jelas antara pekerjannya itu. Tidaklah tepat jika menduakan dan menjadikan tugas sebagai anggota DPR sebagai pilihan terakhir. Seharusnya psosisinya sebagai anggota DPR yang telah dipercayakan oleh rakyat itulah yang menjadi pilihan utama profesinya.
Dikatakan sebagai pilihan utama karena di dalam struktur ketatanegaraan, pada setiap anggota DPR itu melekat tanggung jawab dan pekerjaan yang mulia. Di pundaknyalah nasib dan masa depan bangsa ini dipertaruhkan. Oleh karena itu, harap tanggung jawab ini jangan dilakukan dengan setengah hati dan sambil lalu. Tiap wakil rakyat itu harus fokus dengan selalu mendengarkan suara, nada, dan harapan masyarakat yang telah memilihnya. Aspirasi rakyat itu baru akan dapat terserap jika para anggota DPR menyediakan tenaga, pikiran, pengetahuan, dan waktu yang cukup.
Selain alasan waktu, juga ada alasan etis. Sekalipun ada anggota DPR yang misalnya berpendapat bahwa mereka cukup pandai membagi waktu sehingga tidak bakal mengganggu rutinitas profesi mereka di lembaga tinggi negara, tetap saja ada pertimbangan etis yang mengganggu. Sebagai pejabat publik, rakyat pemilih meminta mereka untuk tampil dan terlibat dalam perumusan kebijakan-kebijakan publik, bukan tampil secara komersial di dalam iklan, sinetron, dan/atau film layar lebar.
Perilaku ini memperlihatkan tindakan menduakan tugas utama mereka sebagai wakil rakyat, mengingat satu wakil rakyat ekuivalen dengan rata-rata 400.000 warga negara Indonesia pemilik suara di belakangnya. Bagaimana mungkin mereka dapat menampung dan mejalankan aspirasi warga yang telah memilihnya? Oleh karena itu, anggota DPR dari kalangan artis, seharusnya, menyambut baik dengan tidak menolak Rancangan Peraturan DPR tentang Kode Etik DPR itu. Di dalamnya terkandung tujuan pengaturan untuk lebih megoptimalkan kerja-kerja anggota DPR.
Terlepas dari pandangan ini, pilihan untuk menerima dan menolaknya, pada akhirnya, kembali pada niat dan motivasi legislator artis DPR itu sendiri, yaitu apakah semata-mata dilandasi oleh motivasi material ekonomis, atau berniat mengabdikan dirinya demi rakyat, bangsa dan negara tatkala mereka memutuskan menjadi anggota DPR. (***)
Published at :