“INJURIA SINE DAMNO” DALAM PERBUATAN MELAWAN HUKUM
Oleh SHIDARTA (Januari 2015)
Tulisan ini melengkapi kembali artikel tentang “perbuatan melawan hukum” dalam artikel terdahulu. Salah satu unsur dalam perbuatan melawan hukum adalah kerugian. Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan, “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Dalam semua keluarga sistem hukum, dikenal adanya konsep “perbuatan melawan hukum” yang membebani kewajiban bagi si pelaku kesalahan tersebut memberi ganti kerugian kepada pihak lain yang terkena akibat perbuatan itu. Seorang ahli hukum dari sistem common law A.J. Pannett (1992: 3) menyatakan bahwa pada asasnya hukum tidak akan membebankan kewajiban penggantian kerugian terhadap semua bentuk pelanggaran. Jenis-jenis kerugian yang disebut damnum sine injuria adalah contoh pengecualiannya, yaitu apabila kerugian disebabkan oleh pelanggaran yang dilakukan karena si pelaku tengah menjalankan perintah undang-undang. Artinya, sekalipun ada kerugian, jika pelakunya berbuat karena menjalankan perintah undang-undang, ia tidak wajib untuk mengganti kerugian itu. Sebaliknya, ternyata ada juga doktrin injuria sine damno, yang mengatakan bahwa kendati tidak ada kerugian, pelaku tetap wajib mengganti kerugian tersebut. Pannett menyebut contoh penerapan doktrin terakhir ini adalah perbuatan memasuki tanah milik orang lain (trespass). Black’s Law Dictionary (1990: 785) menyebut doktrin ini dengan injuria absque damno, yang diartikannya sebagai “Injury without damage. A wrong done, but from which no loss or damage results, and which, therefore, will not sustain an action.”
Doktrin ini memang lazim diterapkan dalam gugatan perdata, tetapi bukan berarti tidak dapat diterapkan untuk sebab-sebab yang cenderung berdimensi publik, seperti penghinaan, penipuan, dan kesalahan pemidanaan. Bahkan dalam kasus Ashby versus White (1703-1704) doktrin ini dipakai oleh Hakim Lord Holt dalam dissenting opinion-nya tatkala menangani hak konstitusional penggugat yang “dirugikan” karena dilarang untuk ikut dalam pemilihan umum (Stephenson, 2008: 639-640). Holt menulis dalam putusan itu sebagai berikut:
“If the plaintiff has a right, he must of necessity have a means to vindicate and maintain it, and a remedy if he is injured in the exercise or enjoyment of it, and, indeed it is a vain thing to imagine a right without a remedy; for want of right and want of remedy are reciprocal… And I am of the opinion that this action on the case is a proper action. My brother Powell indeed thinks that an action on the case is not maintainable, because there is no hurt or damage to the plaintiff, but surely every injury imports a damage, though it does not cost the party one farthing, and it is impossible to prove the contrary; for a damage is not merely pecuniary but an injury imports a damage, when a man is thereby hindered of his rights. To allow this action will make publick officers more careful to observe the constitution of cities and boroughs, and not to be so partial as they commonly are in all elections, which is indeed a great and growing mischief, and tends to the prejudice of the peace of the nation.”
Doktrin-doktrin di atas menarik untuk dikaji dalam konteks Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) (undang-undang versi lama Nomor 23 Tahun 1997 sebelum digantikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, disingkat UUPPLH). Untuk doktrin pertama, damnun sine injuria, dapat ditunjuk Pasal 35 ayat (2) UUPLH. Dalam ayat ini disebutkan beberapa alasan yang membebaskan pelaku pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dari kewajiban membayar ganti rugi. Alasan-alasan itu adalah jika ada bencana alam atau peperangan, keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia, dan tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan. Pengertian pihak ketiga ini menurut bunyi penjelasan ayat ini adalah sesama pelaku usaha atau pemerintah. Ketentuan Pasal 35 ayat (2) ini sebenarnya menyimpang dari ketentuan ayat (1) yang sama-sama berada dalam paragraf bertajuk “Tanggung Jawab Mutlak” (dalam UU yang baru, diatur dalam Pasal 88). Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) diartikan menurut penjelasan pasal-pasal tersebut sebagai “…unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian.” Selanjutnya dinyatakan pula bahwa ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup dapat ditetapkan sampai batas tertentu.
Ketentuan Pasal 35 ayat (1) UUPLH atau Pasal 88 UUPPLH sebenarnya merupakan roh penting yang menunjukkan karakteristik perbuatan melawan hukum lingkungan. Black’s Law Dictionary (1990:1422) mengartikan strict liability sebagai liability without fault. Konsep ini sebenarnya lebih dikenal dalam tanggung jawab produk dan perlindungan konsumen. Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab ini dalam UUPLH maka secara logis harus dipahami bahwa unsur kesalahan dalam perbuatan melawan hukum lingkungan praktis tidak mungkin lagi ditafsirkan secara restriktif.
Koesnadi Hardjasoemantri (1999: 385-386) mengakui bahwa Pasal 35 UUPLH (atau Pasal 88 UUPPLH) ini kenyataannya tidak bisa berlaku untuk semua kegiatan, tetapi harus diterapkan selektif. Ia menyatakan pasal ini semula ditampung dalam Pasal 21 Undang-Undang Lingkungan Hidup (sebelumnya), yang berbunyi: “Dalam beberapa kegiatan yang menyangkut jenis sumber daya tertentu tanggung jawab timbul secara mutlak pada perusak dan atau pencemar pada saat terjadinya perusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang pengaturannya diatur dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.” Penyusun undang-undang menyadari bahwa prinsip tanggung jawab mutlak dengan pembalikan beban pembuktian tidak begitu saja dapat diterapkan, sehingga pelaksanaannya dilakukan secara bertahap sesuai dengan perkembangan kebutuhan. Namun, dengan mengutip pandangan Rüdiger Lummert, Koesnadi menyadari bahwa seiring dengan bertambah pesatnya industrialisasi, bertambah pula risiko dan rumitnya hubungan sebab akibat. Oleh sebab itu teori hukum telah meninggalkan konsep “kesalahan” dan berpaling ke konsep “risiko”.
Lalu, apakah yang makna dari ulasan tentang kesalahan dan risiko dalam konteks perbuatan melawan hukum? Menurut Setiawan (1991: 31), perkataan “kesalahan” dalam Pasal 1365 KUH Perdata menunjuk pada tanggung jawab atas suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Kata “kesalahan” dengan demikian sering diapakai sebagai sinonim dari perbuatan melawan hukum. Sementara itu, “risiko” dipakai sebagai lawan dari kesalahan, untuk menunjukkan peristiwa-peristiwa pertanggungjawaban tanpa adanya kesalahan.
Prinsip tanggung jawab mutlak jelas tidak dianut dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Dapat dipahami bahwa hakim-hakim yang menangani gugatan perbuatan melawan hukum lingkungan dengan dasar gugatan menggunakan pasal ini, akhirnya terjebak untuk tidak lagi memperhatikan ketentuan undang-undang di bidang lingkungan hidup. Hal ini misalnya pernah terjadi dalam pengadilan di Indonesia, yaitu dalam putusan Pengadilan Negeri Jakara Selatan No. 548/Pdt.G/2007/PN.JAK.SEL (gugatan terhadap PT Newmont Minahasa Raya dalam perkara pencemaran di Teluk Buyat). Padahal, setiap kesalahan yang telah terbukti, misalnya melanggar izin, dalam hukum lingkungan adalah tindakan berisiko mengundang kerugian di kemudian hari. Pada titik inilah tersedia pintu masuk bagi doktrin injuria sine damno (mengenai hal ini, lihat Shidarta, 2010: 65-84).
Pelanggaran izin dalam doktrin injuria sine damno dalam konteks kasus-kasus lingkungan hidup lintas batas secara sempit dapat dimaknai sebagai izin melewati ruang-ruang privat. Masuknya zat-zat berbahaya dalam kandungan udara yang dihirup warga di ruang-ruang privat merupakan sebuah analogi dari trespassing. Dengan demikian, apabila ada gugatan dari warga sipil, tanpa terbatas pada wilayah negara, dapat saja diakomodasi dalam sistem hukum di Indonesia maupun di negara yang bersangkutan, dengan mengambil prinsip kesamaan antara perbuatan melawan hukum dan tort ini.
Melalui doktirn injuria sine damno, aspek kesalahan dengan ketiadaan “izin” bagi masuknya zat-zat polutan ke dalam ruang-ruang privat tentu tidak akan menimbulkan kesulitan dalam pembuktian. Perkara masuknya karena faktor alam (hembusan angin) dan bukan karena faktor kesengajaan si pelaku, seyogianya juga tidak perlu dipermasalahkan karena baik perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) versi sistem civil law maupun tort versi common law tidak mengharuskan motif kesengajaan selalu ada. Dengan frekuensi peristiwa yang terus menerus terjadi, dapat juga dikatakan bahwa aspek kausalitas sebagai salah satu unsur perbuatan melawan hukum dan tort inipun sudah dapat diperkirakan.
Doktrin injuria sine damno ini memberi warna tersendiri ketika ia harus dihadirkan dengan atau tanpa konsep pertanggungjawaban strict liability. Dalam konsep strict liability sebagaimana dianut dalam UUPPLH, perihal ada tidaknya kesalahan memang tidak lagi menjadi unsur, tetapi adanya kerugian riil tetap harus ditunjukkan oleh pihak penggugat. Hal ini penting karena kerugian riil akan dijadikan dasar perhitungan kelayakan tuntutan. Apabila doktrin injuria sine damno dipakai sebagai kombinasi atas konsep strict liability menurut UUPPLH (Indonesia), maka dimensi kerugian ini juga tidak perlu ditunjukkan secara rigid oleh penggugat. Oleh sebab itu, tata cara perhitungan besaran gugatan yang layak dari si penggugat tidak harus sepenuhnya bersifat riil (fisik). Dalam hukum lingkungan, terobosan atas tata cara perhitungan besaran tuntutan ganti rugi sebenarnya sudah sangat berkembang, bahkan sudah menjangkau perhitungan futuristis (lintas generasi). Artinya, dari aspek penetapan besaran tuntutan ganti rugi, penggunaan doktrin ini juga tidak perlu dipertentangkan dengan keberadaan konsep pertanggungjawaban strict liability dalam UUPPLH. (***)
BAHAN BACAAN
Black, Henry Campell. 1990. Black’s Law Dictionary. St. Paul: West Publishing.
Hardjasoemantri, Koesnadi. 1999. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pannett, A.J. 1992. Law of Torts. London: Pitman Publishing.
Setiawan, Rachmat. 1991. Tinjauan Elementer Perbuatan Melanggar Hukum. Bandung: Binacipta.
Shidarta. 2010. ”Perbuatan Melawan Hukum Lingkungan: Penafsiran Ekstensif dan Doktrin Injuria Sine Damno.” Jurnal Yudisial. Vol. III/No. 01/April/2010. Hlm. 65-84.
Published at :