ASEAN AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION 2002
Oleh AGUS RIYANTO (Januari 2015)
Tulisan ini melengkapi tulisan pertama yang pernah dimuat dalam situs ini. Sebagaimana diungkapkan sebelumnya, negara-negara di Asia Tenggara yang tergabung dalam Association of South Asian Nations (ASEAN) telah meratifikasi ketentuan yang dikenal sebagai “ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution” [ATHP] 2002, lebih awal sebelum Indonesia melakukannya. Indonesia terbilang negara terakhir yang meratifikasi ATHP 2002. Negara-negara tersebut adalah Malaysia [3 Desember 2002], Singapura [13 Januari 2003], Brunei Darussalam [27 Februari 2003], Myanmar (5 Maret 2003), Vietnam [24 Maret 2003], Thailand [10 September 2003], Laos [19 Desember 2004], Kamboja [24 April 2006], Filipina [1 Pebruari 2010] dan terakhir Indonesia [16 September 2014]. Hal ini berarti bahwa seluruh negara-negara ASEAN telah menerimanya sebagai norma internasional bersama dan negara-negara ASEAN wajib menaatinya.
Dengan telah diratifikasinya ATHP 2002 berarti bahwa ATPHP 2002 telah menjadi hukum positif lingkungan internasional di ASEAN. Hal itu mengandung arti bahwa implementasi penanggulangan asap yang lintas batas di negara-negara ASEAN telah menjadi masalah bersama negara-negara dalam lingkup regional. Hal itu sesuai dengan tujuan ATHP 2002 yang telah mengakui bahwa polusi asap lintas batas yang dihasilkan dari tanah dan/atau kebakaran hutan di ASEAN harus dikurangi bersama-sama melalui upaya nasional terpadu dan kerja sama internasional [Pasal 1 ATHP].
ATPHP 2002 itu sendiri terdiri dari 32 pasal dan 1 lampiran sebagai kesepakatan bersama Menteri-menteri Lingkungan di ASEAN. Ditinjau dari pengaturannyaa ATPHP 2002 lebih menekakan kepada regulasi tekhnis dalam operasionalisasi penanggulangan asap lintas batas di ASEAN. Sejumlah hal penting yang diatur dalam ATHP 2002 meliputi kewajiban [mencegah dan tindakan], pemantauan [daerah rawan kebakaran dan pencemaran asap], pencegahan [mencegah dan mengendalikan kebakaran], tanggap darurat nasional [menjamin tindakan legislatif, administratif dan pendanaan], transit personel [memfasilitasi transit melalui wilayahnya] kerja sama teknis [untuk meningkatkan kesigapan dan mengurangi risiko kebaran asap], dan pusat koordinasi [disebut ASEAN Centre yang melakukan koordinasi dalam mengelola dampak kebakaran lahan dan asap yang lintas negara].
Kendati demikian, yang menjadi pertanyaan dan tidak terjawabkan oleh ATPHP 2002 adalah jika terjadi pembakaran hutan atau lahan dengan locus delictinya di Indonesia, misalnya, dan ternyata perusahaan tersebut dimiliki sahamnya oleh perusahaan dari luar Indonesia, maka dapatkah kasusnya diperkarakan dengan menggunakan hukum lingkungan yang berlaku di Indonesia atau dapatkah diterapkan dengan hukum nasional masing-masing negara ASEAN dari mana perusahaan tersebut sesungguhnya modal berasal. Demikian juga dalam ATPHP 2002 tidak diatur tentang sanksi, perdata, pidana dan/atau administrasi jika terjadi pelanggaran dalam pelaksanaan ATPHP 2002, sehingga akibatnya, di dalam tataran implementasinya ketentuan ATPHP 2002 itu berpotensi menjadi tidak effektif dijalankan oleh negara-negara ASEAN. (***)
Published at :