SEPUTAR PARADIGMA PEMIKIRAN HUKUM
Oleh SHIDARTA (Januari 2015)
Selama beberapa tahun terakhir ini saya diminta untuk mengampu mata kuliah Metode Penelitian Hukum, mulai dari tingkat sarjana hingga doktoral. Hampir pasti, di antara sesi-sesi perkuliahan tersebut akan ada pertanyaan tentang paradigma. Konkretnya apa itu paradigma? Apakah pemikiran hukum juga mengenal paradigma? Mungkinkah mengawinkan beberapa paradigma sekaligus?
Paradigma dipopulerkan oleh Thomas Khun melalui bukunya “The Structure of Scientific Revolutions” (1962). Kuhn menyampaikan banyak sekali makna tentang paradigma. Kuhn mengaitkan paradigma ini dengan periode normal science. Ia melihat dalam periode normal itu aktivitas penelitian didasarkan pada satu atau lebih pencapaian ilmiah masa lalu. Pencapaian ini diakui oleh komunitas ilmiah tertentu untuk sementara waktu sebagai dasar untuk praktik selanjutnya. Kuhn mengatakan situasi demikian sudah terjdi sejak lama ketika tokoh-tokoh besar dalam ilmu pengetahuan telah meletakkan pencapaian-pencapaian itu. Karya-karya mereka secara implisit berfungsi untuk mendefinisikan masalah dan metode yang sah dari bidang penelitian untuk generasi praktisi berikutnya. Mereka dapat melakukannya karena mereka berbagi dua karakteristik penting. Lengkapnya ia menulis pada edisi bukunya tahun 1970 (hlm. 10) sebagai berikut:
They were able to do so because they shared two essential characteristics. Their achievement was sufficiently unprecedented to attract an enduring group of adherents away from competing modes of scientific activity. Simultaneously, it was sufficiently open-ended to leave all sorts of problems for the redefined group of practitioners to resolve.
Jadi, dua karakteristik yang dimaksud Kuhn itu adalah bahwa pencapaian yang belum pernah terjadi sebelumnya (unprecdented achievement) itu harus: (1) mampu menarik sekelompok orang menjauh dari model-model (modes) aktivitas ilmiah yang selama ini saling bersaing; dan (2) sekelompok orang itu kemudian membentuk komunitas tersendiri dengan menggunakan satu saja model aktivitas ilmiah yang mereka sepakati bersama. Ini adalah suatu pencapaian baru. Pencapaian itu harus mampu terus bertahan untuk dapat diklaim sebagai pencapaian dalam periode normal science. Pencapaian inilah yang disebut oleh Kuhn dengan istilah “paradigma” itu. Dengan pemahaman seperti itu, wajar jika Kuhn kemudian mendaulat satu model saja yang bisa berkuasa pada satu periode tertentu. Kuhn (1970: 10) meneruskan uraiannya dengan kata-kata:
Achievements that share these two characteristics I shall henceforth refer to as ‘paradigms,’ a term that relates closely to ‘normal science.’ By choosing it, I mean to suggest that some accepted examples of actual scientific practice—examples which include law, theory, application, and instrumentation together— provide models from which spring particular coherent traditions of scientific research.
Sementara itu, Bernard S. Phillips dalam bukunya “Social Research: Strategy and Tactics” (1971) mengatakan, “A paradigm is a set of assumptions, both stated and unstated, which provides the basis on which scientific ideas rest.” Sementara Earl Babbie dalam buku “The Practice of Social Research” (2001) menyatakan, “A paradigm is fundamental model or frame of reference we use to organize our observations and reasoning.”
Atas dasar itu, kita dapat mengatakan bahwa paradigma adalah model atau kerangka berpikir ilmiah yang menjadi rujukan komunitas tertentu. Kuhn membatasi komunitas ini adalah komunitas para praktisi (pengguna/penerap teori), sehingga paradigma di mata Kuhn memang lebih bernilai pragmatis. Phillips berpendapat lain, bahwa paradigma adalah rangkaian asumsi yang menjadi dasar suatu gagasan ilmiah. Babbie memberi pengertian yang mencoba menjembatani dengan mengatakan paradigma sebagai model atau kerangka acuan, baik untuk kepentingan observasi (bernuansa konkret dan praktis) maupun penalaran (bernuansa abstrak dan teoretis).
Sebuah gelas yang berisi air setengah volumenya, akan memunculkan pertanyaan apakah gelas itu menampung setengah penuh air atau setengah kosong air. Konon, bagi mereka yang optimistis akan menjawab setengah penuh, sementara yang pesimistis akan menjawab setengah kosong. Inilah yang disebut paradigma, yaitu model berpikir yang memuat asumsi-asumsi untuk kemudian memunculkan gagasan ilmiah tertentu sebagai konsekuensinya.
Dalam pemikiran ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan, kerap ditampilkan tiga kelompok paradigma, yaitu positivisme, interpretif atau fenomenologi (terkadang disebut dengan pospositivisme, naturalisme, atau konstruktivisme), dan kritikal. Kaum positivis memandang objek ada di luar subjek. Oleh karena realitas ada di luar diri si individu yang mengamati, maka diyakini akan ada realitas objektif itu. Sebaliknya, penganut fenomenologi menyatakan realitas justru diciptakan oleh si subjek melalui interpretasi subjektif. Kaum kritikal di sudut lain berpendapat bahwa realitas berada di antara subjektivitas dan objektivitas. Realitas terjadi melalui ketegangan-ketegangan antara subjek-subjek.
Postivisme logis sebagai paradigma ilmu pengetahuan pada umumnya juga menjalar ke ranah disiplin hukum, sehingga dikenal juga adanya paradigma positivisme hukum. Hanya saja, positivisme logis, yang kemudian berkembang menjadi positivisme empiris, memiliki karaktetistik yang berbeda dengan positivisme hukum. Penjelasan mengenai hal ini sudah diungkapkan dalam tulisan saya dalam buku “Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi” (2004).
Paradigma dengan demikian juga dikenal dalam hukum. Paradigma di sini lebih diartikan sebagai kecenderungan pengemban (fungsionaris) hukum dalam memaknai hukum, memahami bagaimana hukum dinalarkan, dan menetapkan nilai hukum yang ingin dituju. Di sini ada dimensi ontologi, epistemologi, dan aksiologi hukum. Paradigma hukum harus mampu menawarkan gagasan atas tiga dimensi ini secara sekaligus. Jadi, paradigma hukum pada hakikatnya memiliki fungsi yang sama dengan teori hukum, yaitu berfungsi deskriptif dan preskriptif.
Ronald Dworkin suatu ketika pernah menyebut positivisme hukum dan utilitarianisme sebagai the ruling theory of law. Dworkin ingin mengatakan bahwa di dalam ranah disiplin hukum, positivisme dan utilitarianisme adalah paradigma yang masih kuat bercokol menguasai alam pikiran para pengemban hukum itu.
Saya sendiri lebih cenderung untuk tidak membedakan paradigma di dalam disiplin hukum dengan mengikuti pembedaan sebagaimana dikenal dalam ilmu sosial dan kemanusiaan (humanities). Apabila paradigma di sini lebih dimaknai sebagai model berpikir, maka di dalam disiplin hukum akan lebih tepat ditawarkan enam paradigma, yaitu kelompok-kelompok teori hukum yang juga disebut aliran-aliran pemikiran hukum, yaitu aliran hukum kodrat, positivisme hukum, utilitarianisme, mazhab sejarah, sociological jurisprudence, dan realisme hukum.
Apakah mungkin untuk mengawinkan paradigma-pradigma ini? Jawabannya bisa ya dan tidak. Ya, sepanjang dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya dapat didamaikan, dalam arti tidak bentrok. Positivisme hukum dan realisme hukum memiliki posisi yang berhadap-hadapan secara frontal, sehingga sangat berisiko apabila coba untuk dikawinkan. Ilustrasinya agak berbeda dalam hal paradigma positivisme hukum dicoba untuk dikawinkan dengan mazhab sejarah, yang kemudian dikenal sebagi sociological jurisprudence.
Sociological jurisprudence sebenarnya tidak lagi menawarkan proposisi-proposisi yang persis sama dengan positivisme hukum dan mazhab sejarah. Ia sudah mengambil jarak dari keduanya. Ia memang mengambil aspek “law in the books” dari positivisme hukum, dan kemudian “living law” dari mazhab sejarah, tetapi aliran pemikiran ini sadar bahwa keduanya tetap memiliki potensi kontradiktif jika disatukan. Hal ini karena di mata positivisme hukum, suatu norma hukum selalu dihasilkan secara by-design, sedangkan dalam perspektif mazhab sejarah, norma hukum tidak perah dibuat melainkan tumbuh bersama masyarakat. Pada satu sisi, hukum adalah produk politik, sedangkan di sisi lain hukum adalah produk budaya. Nah, sociological jurisprudence harus mampu membentuk pencapaian (achievement) baru. Ia kemudian mengubah pendefinisiannya tentang hukum sebagai judge-made law. Di tangan para hakim itulah pemaknaan atas hukum positif selalu diselaraskan dengan hukum yang hidup. Penyelarasan itu tidak selalu berarti ada di posisi tengah-tengah, tetapi ada kemungkinan pada waktu tertentu condong ke makna tekstual hukum positif dan pada kesempatan lain pada hukum kontekstual yang hidup dalam masyarakat.
Artinya, dari keenam aliran yang disebutkan di atas, sebenarnya sociological jurisprudence bisa saja diklaim sebagai contoh suatu paradigma hibrida dalam filsafat hukum, terlepas bahwa anggapan demikian bisa jadi akan ditentang banyak orang. Sekali lagi, sukses tidaknya “perkawinan paradigma” seperti yang dilakukan pada sociological jurisprudence sangat bergantung pada kemampuan mendamaikan landasan-landasan filosofis yang menaunginya dengan penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Roscoe Pound, sebagai pengemuka pemikiran ini sadar untuk membuat pertanggungjawaban itu, antara lain dalam bentuk postulat-postulat. (***)