PRO KONTRA PIDANA MATI
Oleh AHMAD SOFIAN (Januari 2015)
Persoalan hukuman mati kembali menjadi perdebatan setelah Jaksa Agung mengeksekusi mati lima narapidana narkoba dan tiga di antaranya adalah warga Asing yaitu Mali, Brasil dan Belanda. Dua Negara menyatakan protesnya dan menarik duta besar mereka dari Indonesia. Penarikan dua duta besar ini sontak memberikan pukulan diplomasi kepada pemerintah, karena dalam pemerintahan sebelumnya peristiwa seperti ini tidak pernah terjadi.
Karena itu, sangat menarik peristiwa di atas dianalisis dari persfektif trend penghapusan hukuman mati di banyak negara, dengan kata lain persefektif universalisme telah menjadikan hukuman mati dihapus di banyak negara. Hukuman mati dinilai bukan lagi sebagai jenis “punishment” yang memberikan efektivitas memberikan rasa takut pada calon pelaku, pendekatan ini tak akan mampu mengeliminasi kejahatan. Banyak pelaku kejahatan yang bahkan ingin dihukum mati karena mereka punya idiologi tertentu. Pendekatan retribusi (balas dendam) yang dilakukan negara yang mewakili kepentingan korban dan kepentingan keamanan dinilai hanya mampu menyalurkan “hasrat balas dendam” negara, tetapi tidak memberikan efek apa-apa kepada korban. Hukuman mati bukan berarti bisa memulihkan kondisi psikologis korban. Kepentingan negara jauh lebih dominan daripada kepentingan korban. Karena itu, upaya kriminalisasi dalam bentuk hukuman mati hanyalah menonjolkan kekuasaan negara semata.
Perlu dicatat bahwa selama 20 tahun terakhir ini, lebih dari 50 negara telah menghapuskan hukuman mati dalam hukum pidana nasional mereka. Dengan demikan sudah ada 99 negara telah menghapus hukuman mati. Di samping itu ada sebanyak 33 negara menjalankan moratorium eksekusi hukuman mati, artinya hukum pidana mereka mengatur hukuman mati tetapi terpidana tidak dieksekusi mati. Dengan demikian jumlah total negara yang menghapus hukuman mati, baik secara de facto maupun de jure, mencapai 140 negara.
Berdasarkan catatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ada ada sebanyak 58 negara anggota PBB yang masih memberlakukan hukuman mati dalam hukum nasional dan Indonesia termasuk di dalamnya. Namun Mejelis Umum PBB telah menyerukan kepada anggotanya yang belum menghapuskan hukuman mati untuk segera melakukan moratorium universal hukuman mati.
Dengan situasi trend ini, pertanyaannya adalah apakah Indonesia masih menentang arus global? Apakah hukuman mati masih dipertahankan dalam hukum nasional kita? Apakah demi kepentingan nasional mengorbankan diplomasi internasional, asas universalisme sepatutnya dipertimbangkan dalam menghapus pidana mati ini. (***)
Published at :