CITRA LEMBAGA DAN KUALITAS HAKIM AGUNG
Oleh SHIDARTA (Desember 2014)
Rabu, 24 Desember 2014 lalu saya diundang untuk menghadiri acara presentasi di sebuah institusi negara di bidang hukum, mendiskusikan hasil-hasil penelitian tentang putusan pengadilan dan pengawasan terhadap para hakim yang sudah berjalan selama beberapa tahun terakhir. Seorang peserta diskusi, yang kebetulan juga mantan hakim agung, memberi komentar menarik tentang kualitas hakim agung kita selama sekitar 7 tahun terakhir ini, yang menurutnya telah jauh menurun dibandingkan dengan periode sebelumnya. Dulu, untuk menjadi seorang hakim agung, seseorang harus meniti karir sangat lama dan harus menjabat ketua-ketua pengadilan di tingkat pertama dan banding. Indikasi penuruan ini terlihat dari putusan-putusan di tingkat Mahkamah Agung, yang kendati terlanjur diapreasiasi masyarakat, tanpa pertimbangan yang cukup memadai. “Jika pertimbangan untuk memperberat sanksi kepada koruptor hanya karena korupsi adalah extraordinary crime, tidak ada istimewanya putusan demikian. Semua orang juga bisa!” demikian komentarnya memberi contoh.
Di satu sisi, terkait kualitas putusan, pandangan mantan hakim agung di atas, ada benarnya juga! Hakim senantiasa dituntut untuk memberi putusan yang memuat pertimbangan yang cukup (motivering vonnis), baik terhadap fakta maupun hukum. Hasil penelitian kami (termasuk yang dilakukan oleh Prodi Business Law BINUS) terhadap putusan-putusan hakim mulai dari tingkat pertama sampai tingkat puncak di Mahkamah Agung, menunjukkan kelemahan di aspek ini. Hal ini terlihat secara kasatmata dari keringnya kaidah-kaidah yurisprudensi yang bisa diangkat dari putusan-putusan tersebut, walaupun sudah diberi label sebagai “yurisprudensi” oleh Mahkamah Agung.
Benar bahwa tidak semua putusan majelis hakim agung harus berkadar yurisprudensi. Hanya sebagian kecil di antaranya yang layak diberi predikat demikian. Putusan-putusan ini harus memuat penemuan hukum, dalam arti ada pandangan baru sebagai hasil interpretasi atau konstruksi hukum yang berbeda dibandingkan dengan ketentuan normatif yang sudah ada selama ini. Pandangan sebagai hasil penemuan hukum ini lalu diikuti oleh hakim-hakim yang mengadili kasus serupa di kemudian hari. Inilah yang dimaksud dengan “yurisprudensi” dalam arti sebenarnya.
Kita kembali ke diskusi tentang pendapat bahwa perekrutan hakim-hakim agung dewasa ini tidak cukup mampu menghasilkan hakim-hakim agung yang lebih berkualitas dibandingkan dengan periode sebelumnya (tatkala seleksi hakim agung sepenuhnya ditangani di satu atap). Pendapat demikian akan mengantarkan kita ke arena polemik tersendiri.
Perlu dicatat bahwa putusan hakim adalah suatu produk yang didedikasikan untuk menjadi konsumsi publik. Majelis hakim tidak dapat menyatakan bahwa mereka telah memutuskan dengan cerdas dan cermat, tetapi kecerdasan dan kecermatan itu tidak tergambarkan di dalam putusannya. Ada sejumlah entitas yang harus dilayani sebagai pengkonsumsi putusan hakim. Entitas pertama ada di internal lingkungan peradilan itu sendiri. Majelis hakim di tingkat pertama pasti ingin putusannya diapreasiasi oleh majelis hakim di tingkat berikutnya, mulai dari tingkat banding sampai akhirnya (jika memang terus dilakukan upaya hukum) berujung di tingkat Mahkamah Agung.
Pertanyaannya, jika putusan sudah sampai di tingkat Mahkamah Agung, lalu apakah ada internal lingkungan peradilan lagi yang harus “dipuaskan” atas putusan pucuk lembaga peradilan ini? Jawabannya, tentu saja tidak ada lagi. Di sinilah asas litis finiri oportet menemukan garis finish-nya. Tentu saja ada kemungkinan para pihak melakukan upaya hukum luar biasa, tetapi tetap saja entitas yang berwenang menetapkan putusan akhirnya adalah Mahkamah Agung. Oleh sebab itu, Mahkamah Agung sangat perlu memperhatikan konsistensi sikapnya di dalam menilai suatu kasus, terlepas putusan-putusan ini berasal dari majelis yang berbeda. Dapat dibayangkan betapa membingungkan para pencari keadilan, jika ada putusan kasasi dalam hitungan bulan kemudian berubah seratus delapan puluh derajat pada putusan peninjauan kembali, lalu kemudian berubah lagi pada putusan peninjauan kembali berikutnya, dan seterusnya (menyusul putusan Mahkamah Konstitusi terkait Pasal 268 ayat [3] KUHAP).
Satu contoh legendaris adalah serangkaian putusan kasus waduk Kedung Ombo yang berlangsung pada era Orde Baru tatkala perekrutan hakim agung masih berada di bawah pengaruh politis pemerintah. Pengadilan Negeri Semarang pada akhir tahun 1990 menolak gugatan warga Kedungpring. Pada April 1991, Pengadilan Tinggi di Semarang mengugatkan putusan pengadilan negeri. Lalu, majelis hakim tingkat kasasi pada Juli 1993 mengabulkan gugatan 34 warga Kedungpring. Selanjutnya, pada Oktober 1994, majelis hakim peninjauan kembali Mahkamah Agung membatalkan putusan kasasi Mahkamah Agung. Perubahan sikap para hakim agung pada kasus ini tidak hadir begitu saja. Antara waktu pasca-putusan kasasi sampai kepada putusan peninjauan kembali, ada rangkaian peristiwa, seperti pertemuan antara Presiden Soeharto dan Ketua MA Purwoto Gandasubrata pada tanggal 30 Juli 1994, yang intinya Presiden meminta Mahkamah Agung membuat putusan yang adil karena kasus ini menyangkut kepentingan umum. Logika sederhananya adalah bahwa Presiden memandang putusan kasasi yang diputus oleh majelis yang diketuai Asikin Kusuma Atmadja adalah putusan yang “tidak adil” dan perlu diubah. Demi “mengamankan” putusan ini, maka Purwoto sendiri lalu mengambil alih posisi ketua majelis hakim peninjauan kembali, dengan hasil yang sudah dapat diduga.
Sinyalemen bahwa hakim-hakim agung hasil seleksi saat ini kurang berkualitas dibandingkan dengan hakim-hakim agung periode sebelumnya, pada akhirnya menjadi pendapat yang sangat subjektif. Tidak ada keraguan atas perjalanan karir dari majelis peninjauan kembali yang terdiri dari H.R. Purwoto S. Gandasubrata, S.H., H. Soerjono, S.H., H. Samsoeddin Abubarkar, S.H., Olden Bidara, S.H., dan Sarwata, S.H., tetapi tokh putusan mereka tidak representatif untuk meyakinkan kualitas ini. Mereka menyatakan gugatan para penggutat tidak dapat diterima, yang secara teoretis berarti membolehkan gugatan dapat dimulai lagi dari nol. Mereka lupa bahwa para penggugat warga Kedungpirng ini sudah berjuang untuk mempertahankan hak mereka lebih dari 20 tahun dan tiba-tiba mereka dipersilakan untuk mulai berjuang lagi dari awal. Putusan-putusan seperti inilah yang berkontribusi merusak kepercayaan (trust) masyarakat terhadap lembaga Mahkamah Agung dan kualitas hakim agung kita di era Orde Baru.
Riset yang dilakukan oleh Sebastiaan Pompe (2005) yang menggambarkan keruntuhan Mahkamah Agung Indonesia sebagai “institutional collapse” seharusnya menjadi referensi penting untuk menilai apakah sinyalemen di atas benar adanya. Artinya, secara karir dan pengalaman invidual sebagai hakim, masing-masing hakim agung pada periode Orde Baru itu mungkin saja “cukup meyakinkan”. Namun, secara kolektif, ketidakmampuan mereka menjaga marwah kewibawaan lembaga peradilan terbukti telah gagal sehingga dinilai Pompe telah meruntuhkan lembaga pengadil tertinggi ini. Masyarakat menuntut perubahan, yaitu reformasi yang mengembalikan lagi kepercayaan publik terhadap lembaga ini. Muncullah eksperimen bahwa kepercayaan ini mungkin bisa dipulihkan apabila lembaga ini menerima figur-figur baru di internal kelembagaan ini, yang diharapkan dapat memberi angin segar bagi kultur institusional Mahkamah Agung.
Apabila Mahkamah Agung memiliki kesadaran bahwa hakim-hakim agung mereka membutuhkan pengayaan kapasitas individual secara terus-menerus, maka caranya tentu tidak dengan menutup diri untuk dikritisi. Kinerja dan integritasnya juga harus siap untuk dinilai.Putusan-putusan hakim harus berani dibuka ke publik secara lebih awal lagi, bukan menunggu sampai momentum diskursusnya sudah tidak lagi mengemuka di masyarakat. Eksaminasi putusan harus digalakkan dan dipublikasikan, khususnya oleh para akademisi dan peneliti putusan hakim. Cara ini adalah metode “pengawasan” publik yang penting dan paling memungkinkan dilakukan, mengingat kemerdekaan institusi kehakiman tidak mungkin direduksi dan diintervensi oleh siapapun.
Jadi, seperti apa kualitas hakim-hakim agung kita, tidak lagi cukup dinilai dari latar belakang dan perjalanan karir mereka semata. Figur hakim-hakim kita di semua lini, dituntut harus tercermin melalui putusan-putusan yang mereka hasilkan. Putusan-putusan ini tidak hanya sekadar memuaskan internal institusi peradilan, tetapi juga komunitas ahli hukum, masyarakat luas, dan para pihak yang berperkara.
Laporan masyarakat ke Komisi Yudisial menyangkut putusan dan perilaku hakim, antara tahun 2005 sampai pertengahan 2014, mencapai angka 10.455 laporan. Biasanya laporan yang masuk berkaitan dengan putusan-putusan hakim. Walaupun motif dari pelaporan ini diakui memang beragam, banyaknya (kuantitas) putusan yang masuk, yakni lebih dari 1.000 laporan per tahun, mengindikasikan belum cukup terpenuhinya ekspektasi masyarakat terhadap lembaga peradilan kita. Sebagai simpulan, berarti baik dulu maupun sekarang, kita masih saja merindukan hakim-hakim kita yang berkualitas, yang pertama-tama tercermin dari kualitas-kualitas putusan mereka. Putusan-putusan yang disebut “motivering vonnisen”. (***)
Published at :