URGENSI PENGATURAN INSENTIF HAK ATAS TANAH BAGI INVESTASI SEKTOR PERKEBUNAN
Oleh ERMANTO FAHAMSYAH (Desember 2014).
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, selanjutnya disebut UU Penanaman Modal, sebagai dasar hukum pelaksanaan penanaman modal di Indonesia dan peraturan pelaksanaannya, cakupan materinya telah memberikan berbagai insentif berupa pelayanan, fasilitas, kemudahan dan jaminan bagi investor yang diberikan dalam penanaman modal di Indonesia. Insentif yang diberikan meliputi insentif langsung dan insentif tidak langsung. Pemberian insentif ini bertujuan untuk lebih dapat menarik minat investor.
Insentif langsung dalam Penanaman Modal di Indonesia antara lain: a) Kepemilikan Modal 100% bagi Perusahaan Penanaman Modal Asing; b) Pengalihan Aset, Transfer dan Repatriasi Ketenegakerjaan; c) Perpajakan; d) Hak atas Tanah; e) Keimigrasian dan Izin Tinggal; dan f) Fasilitas Perizinan Impor. Sementara insentif tidak langsung diberikan terkait: a) Jaminan terhadap Tindakan Nasionalisasi; dan b) Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal.
Dari beberapa insentif langsung dan tidak langsung di atas, yang menarik dicermati adalah mengenai insentif terkait hak atas tanah.
Fasilitas hak atas tanah bagi perusahaan penanaman modal diberikan berdasarkan ketentuan Pasal 21 UU Penanaman Modal. Selain fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pemerintah memberikan kemudahan pelayanan dan/atau perizinan kepada perusahaan penanaman modal untuk memperoleh: a) hak atas tanah; b) fasilitas pelayanan keimigrasian; dan c) fasilitas perizinan impor. Prof. Erman Rajagukguk pernah mengemukakan, dalam perdebatan di Parlemen mengenai Rancangan Undang-Undang Investasi yang menggantikan UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU Nomor 5 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, bulan Maret 2007, Pemerintah Indonesia dan para anggota DPR, kecuali Fraksi PDIP, setuju tentang pemberian dan perpanjangan hak atas tanah bagi investor diberikan pada saat yang sama. Setelah jangka waktu itu berjalan, melalui proses evaluasi, hak atas tanah tersebut dapat diperbaharui.
Mengenai pengaturan kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah yang dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal dalam Pasal 22 ayat (1) UU Penanaman Modal adalah sebagai berikut. Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun. Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun. Sementara Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun.
Penjelasan Pasal 22 Ayat (1) Huruf a UU Penanaman Modal menyatakan, Hak Guna Usaha (HGU) diperoleh dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun. Penjelasan Pasal 22 Ayat (1) Huruf b menyatakan, Hak Guna Bangunan (HGB) diperoleh dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun. Penjelasan Pasal 22 Ayat (1) Huruf c menyatakan, Hak Pakai (HP) diperoleh dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun.
Menurut Prof. Erman Rajagukguk, pengaturan kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana disebutkan di atas tentunya untuk lebih memenuhi kebutuhan para investor. Apabila berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria, hak atas tanah paling lama 35 tahun dan setelah itu dapat diperpanjang 25 tahun lagi. Jangka waktu ini dinilai tidak memadai lagi untuk investor. Di Negara-negara lain, seperti Malaysia, Singapura, Vietnam dan China pada tahun 2007 telah memberikan hak atas tanah bagi investor dalam periode diantara 75-90 tahun.
Pasal 22 ayat (2) UU Penanaman Modal menyebutkan bahwa persyaratan untuk dapat diberikannya dan diperpanjang di muka sekaligus hak atas tanah di atas antara lain: 1) penanaman modal yang dilakukan dalam jangka panjang dan terkait dengan perubahan struktur perekonomian Indonesia yang lebih berdaya saing; 2) penanaman modal dengan tingkat risiko penanaman modal yang memerlukan pengembalian modal dalam jangka panjang sesuai dengan jenis kegiatan penanaman modal yang dilakukan; 3) penanaman modal yang tidak memerlukan area yang luas; 4) penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah Negara; 5) penanaman modal yang tidak mengganggu rasa keadilan masyarakat dan tidak merugikan kepentingan umum.
Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Penanaman Modal selanjutnya menentukan bahwa Hak Guna Usaha dapat diperbarui setelah dilakukan evaluasi bahwa tanahnya masih digunakan dan diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak. Menurut Prof. Erman Rajagukguk, artinya pembaharuan hak atas tanah berupa HGU tersebut baru diberikan setelah diadakan evaluasi, yaitu setelah 60 (enam puluh) tahun. Adalah salah pengertian apabila dikatakan hak-hak tersebut diberikan di muka sekaligus seperti dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996.
Berikutnya, Pasal 22 ayat (4) UU Penanaman Modal menentukan bahwa pemberian dan perpanjangan Hak Guna Usaha yang diberikan sekaligus di muka dan yang dapat diperbarui tersebut dapat dihentikan atau dibatalkan oleh Pemerintah jika perusahaan penanaman modal menelantarkan tanah, merugikan kepentingan umum, menggunakan atau memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak atas tanahnya, serta melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.
Namun demikian, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-V/2007 Perihal Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Terhadap Undang-Undang Dasar 1945, ketentuan-ketentuan dalam UU Penanaman Modal yang berkaitan dengan HGU yaitu Pasal 22 Ayat (1) sepanjang menyangkut kata-kata “di muka sekaligus”, Pasal 22 Ayat (2) sepanjang menyangkut kata-kata “di muka sekaligus” dan Pasal 22 Ayat (4) sepanjang menyangkut kata-kata “sekaligus di muka” dalam perkembangannya dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Penulis berpendapat, dalam Revisi UU Penanaman Modal ke depan harus tetap mengatur pemberian insentif berupa fasilitas hak atas tanah sebagaimana sempat diatur dalam Pasal 22 UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, meskipun dengan formulasi atau rumusan frasa yang lain sehingga tetap memperhatikan Putusan MK di atas. Hal tersebut didasari pertimbangan, kenyataannya terdapat penanaman modal yang karena spesifikasi dan karakterisktiknya memang dilakukan dalam jangka panjang dan terkait dengan perubahan struktur perekonomian Indonesia yang lebih berdaya saing; memerlukan modal besar; dan memerlukan lahan usaha yang relatif luas serta jangka waktu penggunaannya yang relatif lama. Contohnya, penanaman modal pada sub sektor perkebunan, karena dilakukan dalam jangka panjang, dimana produktivitas tanaman perkebunan (kelapa sawit dan karet) pada umumnya berusia 25-30 tahun, tentu memerlukan lahan dengan jangka waktu penggunaan yang relatif lebih lama dibandingkan penanaman modal pada sub sektor yang lain. Di samping itu, perkebunan telah terbukti sebagai bagian dari kegiatan ekonomi Indonesia yang berdaya saing tinggi. Bahkan, usaha perkebunan telah memberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan ekonomi di remote area, sebagai contoh perkebunan kelapa sawit yang banyak diusahakan di remote area atau wilayah-wilayah terpencil di Indonesia yang semula kegiatan ekonominya tidak berkembang atau tidak berjalan sama sekali. Terakhir, penanaman modal pada sub sektor perkebunan memerlukan modal yang relatif besar. Apabila insentif berupa fasilitas hak atas tanah tersebut tidak diberikan tentu akan menimbulkan cost yang relatif besar bagi investor, karena kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa untuk mengurus perpanjangan Hak Guna Usaha, investor memerlukan waktu yang lama dan harus mengeluarkan biaya kembali, belum lagi ditambah adanya pungutan atau biaya-biaya tidak resmi. Kondisi ini akan dapat menjadi disinsentif bagi penanaman modal di Indonesia.
Dasar pertimbangan lain, pengaturan pemberian insentif berupa fasilitas hak atas tanah, khususnya dalam bentuk HGU, dalam UU Penanaman Modal kepada investor yang bergerak pada sub sektor perkebunan, tentunya dengan harapan dapat lebih memberikan kesempatan kepada para pekebun (perkebunan rakyat) yang berasal dari sekitar perusahaan perkebunan (perkebunan besar) dalam penggunaan tanah untuk usaha perkebunan. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat dari Prof. Bungaran Saragih dalam Sidang Perkara Nomor 21/PUU-V/2007 Perihal Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Terhadap UUD 1945 yang mengemukakan:
“tidaklah tepat bila dikatakan Undang-Undang Penanaman Modal akan menelantarkan petani kecil, bahkan menurut pendapat saya Undang-Undang Penanaman Modal ini yang memfasilitasi adanya HGU pada sektor pertanian justru dapat memberi kesempatan kepada petani kecil melalui program inti plasma. Dalam program inti plasma paling sedikit 20% dari HGU harus diberikan kepada petani plasma, bahkan ada perusahaan yang secara sukarela arealnya itu 60% diberikan kepada petani plasma. Dalam artian, melalui program inti plasma 20% sampai 60% lahan perkebunan dalam bentuk HGU itu diberikan kepada petani plasma, intinya dalam bentuk HGU tetap, tetapi lahan-lahan plasma itu tidak dalam bentuk HGU tetapi menjadi hak milik, hak milik jauh lebih kuat daripada HGU.”
Dengan demikian, pengaturan kembali pemberian insentif berupa fasilitas hak atas tanah, khususnya bagi penanaman modal pada sub sektor perkebunan, dalam revisi UU Penanaman Modal ke depan menjadi hal penting. Mengingat bahwa sub sektor perkebunan mempunyai spesifikasi dan karateristik tertentu serta selama ini terbukti telah memberikan sumbangsih yang sangat besar bagi pembangunan ekonomi di Indonesia, sehingga harus terus didukung dengan adanya kebijakan hukum yang dapat merangsang para investor dan/atau calon investor untuk menanamkan modalnya pada sub sektor perkebunan di Indonesia melalui pemberian insentif berupa fasilitas hak atas tanah. (***)
CATATAN: Penulis adalah Sekretaris Jenderal Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB); Dosen Tetap FH Universitas Jember dan AFM di Program Studi “Business Law” BINUS.
Published at :