TAWARAN DOSEN BINUS TENTANG KONSEP NEGARA HUKUM “SEKTORAL”
Komisi Hukum Nasional (KHN) kembali menyelenggarakan acara ruitn tahunannya: Seminar Pengkajian Hukum Nasional (SPHN). Untuk tahun 2014, SPHN berlangsung pada tanggal 2-3 Desember 2014 di Hotel Bidakara Jakarta, dengan mengambil tema “Prospek Pembaruan Hukum Pemerintahan Joko Widodo dan Muhammad Yusuf Kalla Periode Tahun 2014-2019”. Dosen Business Law BINUS, Dr. Shidarta diundang sebagai pembicara dalam acara ini. Beliau membawakan topik tentang Peran Yurisprudensi dalam Pemantapan Negara Hukum Sektoral”. Beliau diminta sebagai pembicara mewakili pemakalah dari kawasan DKI Jakarta. Selain Shidarta, dua dosen lainnya dari Business Law BINUS yang juga diundang menyerahkan makalahnya untuk dimuat dalam prosiding adalah Bambang Pratama dan Besar.
Dalam paparannya di hadapan peserta diskusi yang datang dari seluruh Indonesia, Shidarta menegaskan perlunya dunia hukum kita menghormati yurisprudensi dan mengaitkannya dengan konsep negara hukum yang lebih operasional ketimbang hanya sebagai konsep elitis ketatanegaraan. “Konsep negara hukum kerap diperlakukan sebagai suatu gagasan elitis, yang cukup dituangkan di dalam konstitusi dan diyakini berjalan dengan sendirinya,” katanya. Menurutnya, indikator-indikator untuk mengukur penerapan konsep negara hukum juga lebih melihat pada rekor pengembanan hukum praktis (praktische rechtsbeoefening), yang paling sedikit meliputi kegiatan pembentukan hukum, penemuan hukum, bantuan hukum, dan birokrasi hukum. Ia ingin agar ide tentang “negara hukum” tidak lagi semata-mata didekati dari terma “negara” melainkan bisa dari terma “hukum”.
Shidarta membuka paparannya dengan mengutip pandangan pemerintah dalam kasus merek di suatu putusan hakim, yang menyatakan bahwa Kantor Merek hanya bekerja berpegang kepada undang-undang, tidak perlu harus mengikuti putusan-putusan hakim yang sudah dijatuhkan atau telah dijadikan yurisprudensi. Hal ini memperlihatkan bahwa yurisprudensi belum mendapat tempat yang layak dalam pembangunan sistem hukum kita, terlepas dari alasan bahwa doktrin preseden dinyatakan tidak mengikat dalam sistem civil law yang dianut oleh sistem hukum Indonesia.
Bagi para investor dan pelaku usaha, pemahaman tentang negara hukum Indonesia sangatlah sederhana, yaitu bagaimana negara mampu memberikan mereka kepastian usaha. Di sinilah rezim-rezim hukum yang sektoral tadi harus diterjemahkan secara lebih elaboratif. Formulasi enam tipe negara hukum yang disajikan oleh Brian Z. Tamanaha bisa dijadikan titik berangkat teoretis, namun formulasi tadi sekaligus memperlihatkan bahwa formulasi tadi sangat mungkin bisa didekati dari karakteristik rezim-rezim hukum secara berbeda. Dari sinilah gagasan tentang konsep negara hukum “sektoral” itu memulai pijakannya. Tawaran ini sekaligus untuk mengatasi salah satu dari tiga kekhawatiran Tamanaha terkait formulasi teori-teori negara hukum formal, yaitu pentingnya pengkayaan terhadap isi hukum (content of the law). Ujung tombak dari negara hukum “sektoral” terletak pada optimalisasi fungsi peradilan sebagai penyerap aspirasi atas hukum yang hidup di masyarakat dan penghormatan terhadap yurisprudensi sebagai sumber hukum. (***)