POLISI KITA DALAM KAJIAN SEMIOTIKA HUKUM
Oleh SHIDARTA (November 2014)
Ketika saya meminta para mahasiswa saya di Program Pascasarjana Magister Hukum di Unpar Bandung untuk mencoba melakukan kajian semiotika hukum atas berbagai tanda (sign) yang mereka temukan di sekeliling mereka, salah seorang mahasiswa lalu menyajikan ilustrasi seorang polisi yang sedang mengubah kata ‘damai itu indah’ menjadi ‘damai itu Rp20.000’. Gambar tersebut diunduh dari www.kaskus.co.id. Konon gambar ini aslinya adalah lukisan mural di salah satu kaki jembatan layang di kota Bandung.
Ada satu pertanyaan yang saya ajukan tatkala sampai pada sesi diskusi, yakni apa yang terjadi apabila kostum polisi ini diganti dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)? Kalau urusannya dengan KPK, mungkin angka Rp20.000 bisa ditambahkan sampai ke nominal yang fantastis. Menarik! Hampir seluruh mahasiswa berpendapat bahwa ilustrasi di atas akan terkesan kurang pas. Artinya, pesan ilustrasi ini cocok dan mengena untuk sosok polisi, tetapi tidak/belum cocok dan mengena untuk KPK.
Lalu bagaimana jika kita ganti dengan Mahkamah Konstitusi (MK)? Dari jawaban para mahasiswa, dapat saya simpulkan, mereka menyatakan ilustrasi ini bisa dikatakan cocok untuk saat-saat sekarang ini, namun akan berbeda bila ditanyakan sebelum kasus Akil Mukhtar mencoreng-moreng lembaga ini.
Dalam kajian semiotika hukum ala Roland Barthes, suatu tanda denotatif dapat diperdalam lagi memasuki tanda konotatif, untuk kemudian dibawa sampai ke pengungkapan mitos (myth). Mitos adalah makna di balik fenomena yang tampak. Kata-kata ‘damai itu indah’ adalah jargon yang ditengarai berasal dari Kepolisian RI, sebagaimana kerap ditemukan menjelang pemilihan umum dalam spanduk-spanduk yang dipasang dengan logo Polri di bawahnya.
“Myth is a type of speech,” kata Barthes. Berbicara tentang speech, mengingatkan kita pada seorang filsuf bahasa asal Inggris bernama John Langshaw Austin, yang bersama Gilbert Ryle dan Peter Strawson memperkenalkan satu istilah yang disebutnya ‘tindak tutur’ (speech act). Mereka menderivasi tindak tutur ini ke dalam tiga tingkatan, yaitu tindak lokusi (locutionary acts), ilokusi (illocutionary acts), dan perlokusi (perlocutionary acts).
Kata-kata ‘damai itu indah’ adalah suatu ujaran yang mayoritas orang berakal sehat dapat menyetujuinya. Format tuturannya memang dibuat seperti sebuah tindak lokusi, namun sesungguhnya kata-kata ‘damai itu indah’ jika diucapkan oleh lembaga Kepolisian akan berbeda dengan ucapan oleh rakyat kebanyakan. Kepolisian adalah lembaga yang memiliki otoritas untuk mengambil tindakan. Artinya, kata-kata ‘damai itu indah’ memberi pesan lebih lanjut bahwa Kepolisian meminta masyarakat mencintai kedamaian. Untuk itu, Kepolisian pun akan menciptakan suasana damai dan siap bertindak tegas bagi siapa saja yang berani merusak kedamaian itu.” Jadi, tindak tutur di sini tidak lagi sekadar tindak lokusi guna memastikan sikap atau pandangan (resmi) lembaga Kepolisian, bahkan juga bukan lagi tindak ilokusi yang menegaskan kewajiban atau janji Kepolisian untuk melaksanakan isi tuturannya. Si penutur sebenarnya sudah sampai pada tingkat tertinggi, yaitu tindak perlokusi, yaitu tindak tutur yang [ingin] berdampak aktual mempengaruhi mitra tuturnya.
Persoalan lalu muncul tatkala orang bertanya apakah tindak perlokusi ini benar-benar berdampak aktual terhadap masyarakat yang membaca slogan-slogan tersebut. Pada titik ini ada faktor integritas si penutur yang harus diperhitungkan. Kekuatan menciptakan dampak pada tindak perlokusi akan sangat bergantung pada kekuatan integritas si penutur. Jika kepolisian Negara kita tidak cukup berintegritas, maka tindak perlokusi yang ditampilkan di dalam tuturan-tuturannya hanya akan sampai pada tingkat tindak tutur yang pertama, atau paling banter pada tingkat kedua. Dampak yang semula diperkirakan positif, justru bisa berbalik arah. Ilustrasi kata-kata ‘damai itu Rp20.000’ merupakan salah satu bukti nyata dari dampak yang dimaksud.
Sinisme yang muncul dalam kata-kata ‘damai itu Rp20.000’ (bahkan ada ilustrasi lain di jagad maya yang menaikkan angkanya menjadi Rp50.000), memperlihatkan satu mitos tentang derajat integritas Kepolisian di mata masyarakat, yang harus diakui bertolak belakang dengan mitos-mitos yang secara internal selalu coba dibangun oleh korps Bhayangkara kita. Kata ‘damai’ pada akhirnya mengandung makna yang ekuivok, tidak dalam arti ketenteraman yang menyejukkan hati, melainkan negosiasi yang berujung duit.
Untuk menguji derajat integritas itu, silakan Anda, para pembaca, menggantikan ilustrasi polisi tadi dengan kostum lain yang merepresentasikan aparat penegak hukum kita lainnya. Apabila ilustrasi itu masih terkesan cocok dan pas, atau paling tidak menimbulkan ambigu antara ya dan tidak, maka kita perlu waspada. Mudah-mudahan pandangan mahasiswa-mahasiswa saya tentang KPK dalam konteks ini, masih belum berubah. (***)
Published at :