ANEKA MASALAH DIANGKAT DALAM DEAN’S PROGRAM
Pada tanggal 4-5 November 2014, bertempat di lantai 8 Kampus Anggrek BINUS, berlangsung Dean’s Program yang mempertemukan para pimpinan teras, mulai dari Rektor, Wakil Rektor, Dekan, sampai Ketua Jurusan di lingkungan BINUS. Acara ini diberi label ‘Strategic Academic Development Program’ di bawah koordinasi BINUS Corporate Learning & Development. Beberapa tokoh dari luar BINUS yang diundang memberikan pencerahan adalah Dr. Ir. Illah Sailah, M.S. (Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan Ditjen Pendidikan Tinggi) yang sayangnya tidak bisa hadir dan kemudian digantikan oleh Dr. Engkos Kuncoro. Pembicara kedua dan seterusnya adalah Magdalena Wenas, CPPR, M.Comm., CEO M-PR Consultant, Prof. Dr. Ir. Ricardus Eko Indrajit, M.Sc., M.B.A., Mphil., M.A. (Professor of Computer Science ABFI Institute of Perbanas), Effendi Gozali, Ph.D. (dosen UI), dan R. Purwanto Subroto, Ph.D. (Kepala Subdirektorat Kerja Sama Antar Lembaga, Direktorat Kelembagaan, Ditjen Dikti).
Pada kesempatan ini dari Fakultas Humaniora tampak hadir Dekan Dr. Johannes A.A. Rumeser, Psi., didampingi oleh beberapa ketua jurusan di lingkungan fakultas tersebut. Dari Business Law Departement hadir Ketua Jurusan Dr. Shidarta.
Beberapa catatan yang dapat disampaikan terkait acara ini adalah bahwa Pendidikan nasional telah memasuki paradigma baru, yaitu paradigma yang mengembangkan kebhinnekaan menuju satu masyarakat Indonesia yang bersatu, demokratis, dan aktif menuju masyarakat sejahtera, mandiri, dan berdaulat yang berorientasi pada pembudayaan dan pemberdayaan. Dampak dari paradigma baru ini menuntut perguruan tinggi untuk berpacu mendapat kesetaraan dan pengakuan kualifikasi, berlomba mendapatkan mahasiswa asing, dan membuka model pendidikan jarak jauh. Kendati demikian, disadari bahwa ada ketidaksiapan infrastruktur peraturan perundang-undangan untuk mendukung hal tersebut. Tumpang tindih aturan masih berpeluang terjadi, sehingga suatu program studi dapat saja diatur oleh beberapa aturan berbeda. Di sisi lain, struktur Kementerian Pendidikan yang [konon] sedang dibenahi saat ini juga berdampak pada pengelolaan operasional pendidikan tinggi dalam beberapa tahun ke depan. BINUS diharapkan dapat memanfaatkan peluang yang tersaji, termasuk lebih berperan dalam forum kerja sama di lingkup ASEAN.
Lembaga pendidikan tinggi dinyatakan membutuhkan pendekatan marketing yang berbeda dalam menyiasati kondisi abad ke-21, tatkala ICT menjadi roh dalam komunikasi. Untuk itu, perlu dikembangkan manajemen komunikasi yang terintergrasi dengan menjadikan setiap unit dalam organisasi bekerja sama, bahu membahu membangun reputasi perusahaan. Reputasi bukan sekadar image yang hadir tanpa bukti/referensi (reputation=image+integrated communication). Marketer pada era digital wajib menjadi seorang observer yang baik, lalu mengolah informasi yang diperolehnya dengan berperan sebagai analyst, dan kemudian wajib berbuat sesuatu berangkat dari perannya sebagai strategist. Ada perubahan cara berpikir dalam manajemen komunikasi yang harus sudah dilakukan, yakni tidak boleh lagi inward looking (insied-out) melainkan harus outward looking (outside-in). Tenaga marketer di BINUS perlu diberi masukan terkait keunikan tiap-tiap program studi, antara lain tentang peta pemangku kepentingan (stakeholders mapping) agar dapat dirancang strategi pemasaran yang sejalan dengan tuntutan abad ke-21.
Salah satu strategi penyelenggaraan pendidikan tinggi pada abad ke-21 adalah berupa pendidikan jarak jauh. Ketersediaan perguruan tinggi yang berkualitas dalam kenyataannya berbanding terbalik dengan potensi kedaerahan. Justru daerah yang kekayaan alamnya sangat potensial, tidak mendapat dukungan keberadaan perguruan tinggi yang memadai. Ada banyak kendala bagi daerah-daerah luar Jawa untuk mengembangkan pendidikan tinggi mereka. Hal ini membuka peluang dan tantangan bagi penggarapan model pendidikan jarak jauh dengan memanfaatkan teknologi informasi (e-learning). Pasar yang tersedia untuk model pendidikan ini masih sangat luas. BINUS sudah memiliki pengalaman untuk dapat mengambil peran dalam model pendidikan jarak jauh ini. Sekalipun demikian, harus disadari masih adanya kelemahan-kelemahan di dalam implementasinya, termasuk keluasan geografis Indonesia serta belum membudayanya cara belajar khas online-learning di kalangan peserta didik, sehingga model pembelajaran ini dirasakan belum berjalan optimal.
Terkait dengan kebutuhan merebut pasar, diperlukan adanya kesadaran untuk membangun strategic networking. Di sini karater menentukan sekali kualitas komunikasi, yaitu menjadi figur yang menyenangkan secara emosional namun tidak harus dengan target membahagiakan semua orang. Ada sejumlah indikator yang memperlihatkan suatu strategic networking telah berhasil dilakukan. BINUS, misalnya, dapat dianggap berhasil menerapkan strategic networking jika yang memasarkan BINUS ternyata dilakukan justru oleh orang-orang lain di luar BINUS. Hal lain adalah apabila mereka merasa selalu mendapatkan nilai tambah dari setiap interaksinya dengan BINUS. “Beli satu dapat dua; beli dua dapat tiga,” demikian seterusnya.
Pada akhirnya diungkapkan tekad Indonesia, termasuk BINUS sebagai perguruan tinggi swasta unggulan, dalam menggapai pengakuan internasional atas kualitas pendidikan yang ditawarkannya. Global competitiveness index Indonesia masih sangat rendah, yakni di posisi 38. Di lingkup ASEAN, bahkan posisi Indonesia berada di posisi ke-5 (di atas Filipina). Angka partisipasi masyarakat Indonesia di pendidikan tinggi juga sangat rendah, yaitu baru sekitar 24,9%. Artinya, ada potensi pasar yang sangat besar, yang juga dilirik oleh institusi pendidikan tinggi asing.
Saat ini ada tiga prioritas kebijakan dan strategi internasionalisasi pendidikan tinggi di dunia. Pertama adalah outgoing mobility opportunities for students (magang, dll). Lalu, pertukaran maahasiswa, kemudian koaborasi riset. Untuk kawasan Asia Pasifik, yang diutamakan adalah kolaborasi riset. Kementerian Pendidikan Tinggi dan Riset akan mengupayakan langkah-langkah meningkatkan tiga langkah di atas, walaupun masih dirasakan ada kendala internal, seperti soal koordinasi dengan institusi lain di dalam negeri.
Strategi yang sedang dikembangkan oleh Dikti antara lain adalah dengan menetapkan standardisasi. Program studi S-3 yang dalam tiga tahun tidak menghasilkan publikasi di jurnal internasional terindeks, misalnya, akan terancam dicabut izinnya; demikian juga dosen-dosennya tidak bakal bisa menjadi pembimbing utama disertasi jika mereka tidak mampu memenuhi syarat minimal publikasi dua tulisan di jurnal internasional. (***)
Sumber foto bawah: BCL&D, 2014