HUMANIORA, HUMANITIES, DAN POSISI ILMU HUKUM
Oleh SHIDARTA (Oktober 2014)
Di Universitas Bina Nusantara, Jakarta, tempat saya berkiprah sebagai salah satu dosen saat ini, terdapat satu fakultas bernama ‘Fakultas Humaniora’. Tatkala diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, fakultas ini lalu disebut dengan ‘Faculty of Humanities’. Benarkah pengidentikkan antara humaniora dan humanities ini?
Humaniora adalah seperangkat ilmu yang ingin agar manusia (humanus) menjadi bertambah manusiawi (humanior). Pendidikan humaniora dapat ditarik akarnya ke belakang pada era Yunani Kuno dengan sebutan enkuklios paideia (pendidikan dalam lingkaran). Pendidikan humaniora awal ini kemudian berkembang pada era empirium Romawi dengan sebutan “artes liberales”.
Artes liberales adalah ilmu-ilmu liberal yang sangat bergengsi, yang dilawankan dengan ilmu-ilmu tukang (artes serviles). Konon, kata servile ini dekat dengan kata service. Thomas Aquinas pernah memberi komentar atas karya Aristoteles berjudul “Metaphysics” dengan kalimat sebagai berikut: “Only those arts are called liberal or free which are concerned with knowledge; those which are concerned with utilitarian ends that are attained through activity, however, are called servile.” Tentu saja pandangan Aquinas ini layak digugat kembali dewasa ini.
Secara umum dahulu dikenal ada tujuh buah ilmu-ilmu liberal (septem artes liberales) dan diajarkan dalam dua tingkatan (gradus), yaitu trivium dan quadrivium. Pada tiga ilmu yang pertama, yang ditekankan adalah keahlian bernalar, tercakup gramatika, dialektika (sekarang logika), dan retorika. Selanjutnya, ada tingkatan kedua yang menekankan pada keahlian berhitung, yang terdiri dari astrologi (sekarang astronomi), geometri, aritmetika, dan musik.
Orang-orang yang mampu bernalar dan berhitung adalah orang-orang bebas karena ia memiliki dasar kemampuan untuk bertahan hidup di manapun ia berada. Orang-orang yang mampu bernalar dan berhitung bukan orang-orang yang berbakat menjadi “tukang”. Mereka adalah orang-orang independen, dalam arti tidak bekerja atas dasar pesanan atau sekadar mengharapkan upah langsung sebagaimana dipraktikkan para pandai besi.
Tatkala ilmu-ilmu humaniora diadopsi ke dalam lingkup pendidikan tinggi, ilmu-ilmu ini dipandang penting untuk diajarkan kepada semua mahasiswa dari jurusan manapun. Itulah sebabnya, pengajaran humaniora lalu diberi predikat studium generalis. Adopsi atas ilmu-ilmu ini ke dalam pembelajaran universitas didorong oleh keprihatinan atas terjadinya alienasi di antara ilmu-ilmu anak (vak) yang mereduksi hakikat kemanusiaan.
Ketika era modern menggantikan abad pertengahan, yang ditandai dengan desakan untuk melahirkan kembali (renaissance) kebebasan berpikir ala zaman antik, ilmu-ilmu alam (eksakta) justru naik daun. Apa yang semula dipandang cukup untuk sekadar memuaskan rasa ingin tahu (know-what and know-why), sekarang dianggap tak lagi memadai. Modernitas menghendaki pengetahuan bisa berkontribusi untuk membuat manusia bisa menaklukkan dunia (know-how). Ilmu-ilmu alam adalah jawabannya.
Ilmu-ilmu alam sangat menekankan pada logiko-empirisme dengan memakai objek-non manusia yang bisa direduksi. Manusia secara fisik tentu bisa direduksi, tetapi tidak dalam arti kemanusiaannya. Manusia dan kemanusiaan adalah dua objek ilmu yang berbeda. Memahami manusia bisa dengan cara menerangkan (erklären), tetapi memahami kemanusiaan harus dengan cara memahami (verstehen). Ilmu-ilmu alam menangkap esensi objek ilmiah pada klaim-klaim kaum materialisme, sementara ilmu-ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften) cenderung lebih mengarahkannya pada klaim-klaim idealisme. Namun, idealisme selalu sulit dijelaskan dengan menggunakan logika ilmu-ilmu alam, sehingga praktis era modern agak kurang berpihak kepada ilmu-ilmu kemanusiaan ini. Paradigma kemodernan yang dilahirkan oleh kaum positivisme logis dan positivisme empiris, jelas lebih berpihak kepada ilmu-ilmu alam. Hanya ilmu-ilmu alam (sains) yang dianggap ilmu pengetahuan ilmiah. Sains adalah jawaban atas pencarian atas ilmu yang berkesatuan (unified science).
Jadi dilihat dari kronologi kemunculannya, humaniora jelas lebih awal ada dibandingkan dengan ilmu-ilmu kemanusiaan (humanities). Jelas tidak benar untuk mengidentikkan keduanya.
Kemudian muncul pertanyaan lain, yaitu tentang posisi ilmu hukum. Apakah tempat memasukkannya ke dalam gerbong humaniora dan/atau humanities? Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ilmu hukum bukan kerabat dari humaniora, yaitu apabila humaniora di sini dirujuk ke septem artes liberales. Benar bahwa dalam hukum, dimensi penalaran sangat penting dan logika adalah tulang punggung dari kemampuan bernalar. Kendati demikian, logika adalah ilmu formal, sementara ilmu hukum adalah ilmu praktis.
Lalu, apakah ilmu hukum masuk ke dalam kategori ilmu-ilmu kemanusiaan? Pengkategorian ini juga tidak sepenuhnya tepat. Ilmu hukum dalam arti yang paling sempit adalah ilmu praktis yang berkarakter normologis. Karakter normologis mengandung sifat preskriptif. Ini jelas bukan area bagi ilmu-ilmu kemanusiaan yang berkarakter deskriptif dan lazimnya bebas-nilai. Posisi ilmu-ilmu kemanusiaan ada dalam satu laci dengan ilmu-ilmu alam, yaitu sebagai ilmu-ilmu empiris. Ilmu hukum tidak sama dengan sosiologi, psikologis, atau antropologi, yang semuanya adalah ilmu-ilmu empiris yang masuk ke dalam barisan ilmu-ilmu kemanusiaan, kendati diketahui ilmu-ilmu ini sangat meminati kajian tentang hukum (sehingga muncul kajian sosiologi hukum, psikologi hukum, antropologi hukum, dll.). Ilmu hukum sangat berhutang budi pada kajian-kajian tersebut di dalam menjawab kebutuhan konkret yang timbul dalam lapangan hukum. (***)
Leave Your Footprint
-
MENAKAR KEILMIAHAN ILMU HUKUM DOGMATIS […] Baca juga tulisan terkait: Humaniora, Humanities, dan Posisi Ilmu Hukum […]
-
Rifni Raihana artikel ini bagus, namun butuh referensi yang mengaitkan semuanya. sehingga artikel ini memiliki poin lebih. terimakasih 🙂
-
Kholidiamei Jadi kalau filsafat penjurusannya termasuk humaniora kan?
-
business-law Kata “termasuk” dalam pertanyaan Anda mengandung pengertian humaniora lebih luas daripada filsafat.
Bisa juga diartikan sebaliknya, bahwa humaniora itu lebih sempit daripada filsafat.
-