DESIDERATA HUKUM
Oleh SHIDARTA (Oktober 2014)
Apa alasan keberadaan (rasion d’etret) dari hukum? Pertanyaan ini terkesan sangat klasik, tetapi sesungguhnya sangat mendasar untuk diajukan dan dijawab oleh siapapun yang meminati studi tentang hukum. Para ahli sudah berusaha mencoba menjawabnya dengan berbagai variasi definisi. Tulisan pendek ini tidak ingin mengajukan kembali formulasi-formulasi tadi.
Pertanyaan tentang alasan keberadaan hukum mengingatkan kita pada jargon Latin, yang menyatakan, “ubi societas ibi ius” (di mana ada masyarakat di situ ada hukum). Jargon ini kerap dilekatkan pada tokoh hukum Romawi Marcus Tullius Cicero (hidup sekitar antara 106-43 SM), walaupun ada pendapat lain yang menyatakan ungkapan ini diintroduksi oleh Baron Heinrich von Cocceji (1644-1719), guru besar hukum internasional dari Universitas Heidelberg.
Terlepas dari siapa yang pertama kali mengucapkan jargon ini, ungkapan “ubi societas ibi ius” bisa mengawali akses kita untuk menjawab tentang alasan keberadaan hukum. Secara tradisional, masyarakat dimaknai sebagai sekelompok orang yang hidup bersama dalam waktu relatif lama, sehingga menciptakan kebudayaan. Kebudayaan di sini termasuk nilai-nilai untuk bersikap dan berperilaku dalam berinteraksi sesama anggota masyarakat itu. Interaksi inilah sebenarnya kata kunci di dalam hukum. Tanpa ada interaksi, tidak akan ada benturan kepentingan atau potensi benturan kepentingan. Hukum diperlukan untuk mengatur agar interaksi tadi tidak sampai bersifat destruktif bagi masyarakat. Hukum didedikasikan sebagai norma yang menjamin terpulihkannya kekacauan (khaos) menjadi kedamaian kembali (kosmos). Hukum adalah restitutio in integrum.
Pandangan lain mengatakan hukum bukanlah suatu kepentingan-kepentingan yang berbenturan atau bepotensi berbenturan. Apa yang dilakukan oleh Hans Kelsen (1881-1973) dengan melakukan reduksi atas fenomena hukum untuk kemudian menyatakan hukum adalah perintah penguasa (command of the sovereign) adalah upaya pemaknaan lain tentang hukum. Tanpa ada perintah dari penguasa, tidak mungkin ada yang disebut hukum.
Dua contoh pemaknaan tentang hukum di atas merupakan upaya pencarian para ahli terhadap desiderata hukum. Desiderata adalah bentuk jamak dari kata desideratum, yaitu sesuatu yang mutlak dibutuhkan agar terkuak alasan keberadaannya. Jadi, desiderata merupakan unsur esensial. Sesuatu yang esensial adalah sesuatu yang hakikat. Dalam pembentukan definisi, esensi (substansi) adalah genus dari definiendum yang kemudian dilengkapi dengan keterangan-keterangan tambahan yang disebut aksidensi. Filsuf Yunani Kuno Aristoteles (384–322 SM) menyebutkan sembilan aksidensi, yaitu kuantitas (quantity), kualitas (quality), ruang (location), waktu (time), aksi (action), pasi (passion), situasi (situation/position), kondisi (habitus/condition), dan relasi (relation). Desiderata haruslah memuat hal yang esensial, bukan aksidental.
Kegiatan pencarian desiderata hukum merupakan kegiatan pengembanan hukum (rechtsbeoefening) yang sangat penting, sebagaimana dilakukan oleh teoretisi hukum selama ini. Teori ilmu hukum adalah cabang disiplin hukum yang menampung kegiatan-kegiatan pencarian desiderata hukum ini. Hasil kegiatan ini antara lain berupa pengertian-pengertian konseptual tentang hukum, yang kemudian mengarah pada penciptaan teori-teori hukum (dalam arti produk). Teori-teori hukum ini berkontribusi membantu pekerjaan ilmu hukum dogmatis dan/atau filsafat hukum. (***)
Published at :