MEMBANGUN WIRAUSAHA TAK HARUS DENGAN “SILICON VALLEY”
Perlukah Indonesia membangun semacam “Silicon Valley”, yakni suatu area di California Utara, tempat ribuan perusahaan kecil-menengah Amerika memulai langkah bisnis mereka? Pertanyaan ini diajukan kepada Richard C. Litman, seorang pendiri (founder) Litman Law dan registered patent attorney dari Amerika Serikat. Pertanyaan ini menjadi salah satu topik menarik yang diajukan para peserta focus group discussion (FGD) yang diadakan oleh Business Law BINUS dan BINUS Global Employability & Entrepreneurship bekerja sama dengan Kedutaan Besar Ameriksa Serikat dan Suryomurcito & Co (Rouse) di Gedung FX lantai 6, Jakarta.
Acara ini dibuka oleh Wakil Rektor Dr. Boto Simatupang, dimoderatori oleh Karyana Hutomo dari BINUS Global Employability & Entrepreneurship. Hadir sebagai peserta diskusi antara lain dosen-dosen Business Law BINUS bersama dengan wakil dari Ciputra Entrepreneurship Development Centre, Prasetya Mulya Business School, Swiss German University, Global Entrerpeneurship Program Indonesia (GEPI), dan Rouse Lawfirm.
Menurut Litman, tidak ada keharusan bagi banyak negara untuk meniru cara Amerika memfasilitasi semangat kewirausahaan seperti membangun Silicon Valley. Hal yang terpenting bagi negara adalah berusaha membuka pintu dan tidak menghalangi tumbuhnya semangat kewirausahaan ini, misalnya dengan mempermudah izin pendirian usaha dan perlindungan hak kekayaan intelektual. Ia juga menolak pandangan bahwa modal sebagai halangan bagi kewirausahaan. Menurutnya, yang penting adalah kejelasan rencana usaha (business plan), tata kelola (management), dan strategi dalam melindungi hak kekayaan intelektual (IP strategy). Baginya, kewirausahaan terkait dengan orang daripada modal (kapital).
Dengan jumlah penduduk mencapai 250 juta, Indonesia seharusnya menjadi pangsa pasar dan peluang bisnis bagi mereka yang baru memulai usahanya (business start-up). Kendati demikian, beberapa peserta FGD mempersoalkan adanya kendala kultural bagi bangsa ini untuk berani berwirausaha. Perguruan-perguruan tinggi juga tampaknya belum banyak menginisiasi tumbuhnya semangat kewirausahaan ini. Kalaupun ada, wirausaha lebih diajarkan sebagai mata kuliah biasa daripada sebagai keterampilan. (***)