KEBIJAKSANAAN SOCRATES DAN ETIKA BERLALU LINTAS
Oleh SHIDARTA (September 2014)
Ada dua orang bijak yang sering dijadikan referensi umat manusia sepanjang sejarah, yaitu Sulaiman atau Solomon atau Jedidiah (970-931 SM) dan Socrates (469-399 SM). Momentum kebijaksanaan Sulaiman tercatat ketika ia dihadapkan pada kasus perebutan bayi oleh dua orang wanita yang sama-sama mengklaim sebagai ibu kandung si bayi. Momentum kebijaksanaan Socrates antara lain terekam sejarah ketika ia memutuskan untuk bersedia menelan hemlock setelah dinyatakan bersalah dalam Pengadilan Agora serta konsisten menolak melarikan diri kendati para sipir penjara rela memberinya akses untuk kabur.
Sebagai orang bijak, Socrates berkata, “The only true wisdom is in knowing you know nothing.” Atas pernyataan ini, muncul kreasi tentang tingkatan kebijaksanaan. Konon, orang yang paling bijak adalah orang yang yang tahu kalau dia tidak tahu. Pada level paling rendah adalah orang yang tidak tahu kalau dia tidak tahu. Di antara kedua kubu ekstrem itu, seharusnya ada variasi berupa orang-orang yang tahu kalau dia tahu dan [maaf, ini lumayan absurd] orang yang tidak tahu kalau dia tahu. Dalam praktik keseharian, kita bisa menemukan varian kelima dan keenam, yaitu orang yang tidak tahu karena tidak mau tahu (walau sudah diberi tahu), dan orang yang tahu tetapi pura-pura tidak tahu. Di mata hukum, kedua kelompok manusia ini disadari boleh jadi memang ada, tetapi harus dianggap tidak ada. Ignorantia juris non (neminem) excusat…!
Orang-orang dua tipe terakhir ini saya temukan hampir setiap hari ketika saya harus menempuh perjalanan dari rumah ke tempat pekerjaan. Untuk mencapai lokasi kampus, hampir setiap hari saya harus melewati jalan tol Tangerang-Jakarta. Sudah menjadi rahasia umum bahwa semua lajur kendaraan terisi penuh pada jam-jam sibuk, tidak terkecuali lajur darurat di bahu jalan. Oleh karena tidak merasa sedang dalam keadaan darurat, saya selalu menghindar untuk berkendaraan di lajur bahu jalan ini. Menjelang pintu keluar (exit) ke arah Kebon Jeruk Jakarta Barat, semua kendaraan yang akan keluar seyogianya mengambil lajur lambat. Pada kesempatan yang sama, lajur darurat (bahu jalan) makin lama makin menyempit, sehingga mereka yang berada di bahu jalan ini menggeser kendaraan yang konsisten berada di lajur lambat. Ironisnya, pengendara yang ada di bahu jalan ini kerapkali dengan arogan merasa merekalah yang lebih berhak untuk berada di lajur paling kiri tersebut, terlepas roda kendaraan mereka telah sangat jelas memotong marka jalan. Pengendara di bahu jalan tersebut bahkan sering harusmembunyikan klakson meminta agar pengendara di lajur lambat itulah yang justru harus mengalah.
Ada apa di balik perilaku ini? Benarkah mereka benar-benar tidak tahu bahwa ada pengendara lain yang seharusnya lebih berhak karena sejak semula berkendaraan di lajur yang benar? Spekulasi jawaban demikian rupanya harus ditolak. Bukti konkret menunjukkan, tatkala ada polisi patroli jalan raya berada di tempat itu, semua kendaraan yang ada di bahu jalan berusaha mengosongkan lajur ini. Artinya, mereka semua tahu bahwa lajur ini memang bukan untuk dilewati, melainkan lebih untuk kondisi darurat. Kemacetan yang reguler terjadi, bukanlah kategori kondisi darurat. Jadi, tesis yang paling masuk akal adalah bahwa perilaku tersebut bukan karena ketidaktahuan, melainkan lebih didorong oleh motivasi “tidak mau tahu”. Perilaku yang seyogianya paling tidak etis ketimbang “tidak tahu kalau tidak tahu”.
Secara insidentil saya pernah beberapa kali menanyakan kepada para mahasiswa di kelas, apa reaksi mereka ketika ada pengendara lain di dekat mereka mencoba menyerobot lajur yang seharusnya menjadi hak mereka sebagai pengendara yang tertib. Seratus persen di antara mereka bereaksi dengan jawaban yang negatif: tidak suka, kesal, marah, dongkol, dan sebagainya. Respons demikian dapat diprediksi karena berangkat dari common sense. Dengan demikian, diasumsikan perilaku para pengendara yang menyerobot lajur tadi juga mengetahui akan ada sekian banyak orang yang tidak suka, kesal, marah, dan dongkol. Golden rule yang berlaku umum di dalam etika mengajarkan “setiap orang untuk tidak berbuat sesuatu kepada orang lain yang ia sendiri tidak suka diperlakukan demikian.”
Lalu lintas adalah medan penerapan etika yang paling kasatmata dalam kehidupan sehari-hari. Itulah sebabnya, di banyak negara yang tergolong bersistem hukum yang sehat, etika berlalu lintas diajarkan kepada siswa-siswa mulai dari jenjang taman kanak-kanak. Etika, tak terkecuali etika berlalu lintas, memerlukan internalisasi afeksi, bukan sekadar etiket–yang cukup puas apabila telah dijalani secara psikomotorik. Etika berbeda dengan etiket. Etika tidak sepenuhnya bisa diajarkan scara kognisi. Ia bukan sopan santun yang bersifat temporer dan kontekstual. Pendidikan etika membutuhkan proses pendarahdagingan dengan contoh-contoh keteladanan yang nyata dan konsisten. Seorang ayah yang sedang mengemudikan kendaraan, lalu dengan sembarangan membuang sampah ke jalanan, akan menjadi contoh yang buruk bagi anak-anaknya yang sedang berada dalam kendaraan tersebut.
Kembali ke topik awal tulisan ini, akhirnya dapat disampaikan suatu catatan kecil bahwa ternyata pengetahuan dan perilaku tidak selalu berjalan beriringan secara linear. Orang yang tahu belum tentu bersedia berperilaku menurut pengetahuannya itu. Ada orang yang tahu tentang baik-buruk suatu perilaku, namun tidak ada jaminan ia “mau tahu”, dalam arti bersedia mengikuti panduan etis tadi. Hal ini tidak dapat diterima secara etis, tetapi ironi ini justru menarik perhatian disiplin psikologi dan sosiologi.
Teori konvergensi dalam psikologi, misalnya, mengatakan pembawaan dan lingkungan sebagai faktor yang secara simultan berperan dalam pembentukan perilaku manusia. Teori insentif memperkuat penjelasan terkait faktor lingkungan ini. Artinya, perilaku etis atau tidak etis sangat mungkin didorong oleh faktor lingkungan daripada faktor kesadaran etis subjektif, misalnya tentang kewajiban manusia individual mengemban golden rule di atas. Persoalannya adalah, penciptaan faktor lingkungan yang kondusif bagi lahirnya perilaku-perilaku etis ini harus menjadi tanggung jawab siapa? Apakah manusia individual tidak harus terbebani tanggung jawab demikian? (***)
Published at :