“JUMPING TO CONCLUSION” PILKADA MELALUI DPRD
Oleh SHIDARTA (September 2014)
Polemik soal rancangan RUU Pilkada, yakni urusan dipilih oleh rakyat secara langsung versus dipilih oleh wakil rakyat melalui DPRD, ternyata menyajikan ungkapan-ungkapan menarik. Salah satunya dilontarkan dengan penuh percaya diri oleh para politisi pengusung perubahan undang-undang tersebut, dengan kata-kata: “Sila ke-4 Pancasila menyatakan bahwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; model pemilihan melalui DPRD adalah wujud kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; jadi, model pemilihan melalui DPRD adalah perwujudan sila ke-4 Pancasila.”
Rangkaian proposisi di atas tidak standar untuk disusun menjadi sebuah silogisme. Untuk dapat dievaluasi keabsahannya, proposisi-proposisi tadi perlu “ditertibkan” agar sesuai dengan pola standar suatu silogisme. Model silogisme yang paling direkomendasikan adalah pola “M-P, S-M, dan S-P”. Premis mayor terdiri dari terma tengah (M) yang diletakkan di awal proposisi, mendahului predikat (P). Pada premis minor diletakkan subjek (S) dan kemudian diikuti terma tengah. Langkah berikutnya adalah konklusi, yaiu meletakkan subjek (S) dan kemudian predikat (P).
Perlu dicatat bahwa dalam silogisme yang valid, terma tidak boleh lebih dari tiga. Apabila lebih dari tiga, maka dapat dipastikan bahwa silogisme itu berpotensi menyesatkan. Agar termanya tidak lebih dari tiga, maka rangkaian proposisi yang dikutip di awal tulisan ini akan direduksi sehingga hanya mencakup tiga terma. Supaya tidak menyulitkan pemahaman, penulisan masing-masing terma akan dipersingkat, sehingga menjadi (1) kerakyatan dipimpin dengan sistem sistem perwakilan; (2) ketentuan sesuai dengan sila ke-4 Pancasila, dan (3) pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Berangkat dari terma-terma ini maka disusunlah suatu silogisme standar menjadi:
PREMIS MAYOR: Kerakyatan dipimpin dengan sistem perwakilan adalah ketentuan sesuai dengan sila ke-4 Pancasila. PREMIS MINOR: Pemilihan kepala daerah melalui DPRD adalah kerakyatan dipimpin dengan sistem perwakilan. KONKLUSI: Pemilihan kepala daerah melalui DPRD adalah ketentuan sesuai dengan sila ke-4 Pancasila.
Dalam silogisme deduktif seperti di atas, premis mayor berada dalam posisi paling menentukan. Apabila persilangan terma M-P, S-M, dan S-P tidak memperlihatkan ada yang keliru, maka pemeriksaan pertama-tama harus dipusatkan pada premis mayor. Dalam diskursus hukum, premis mayor diderivasi dari ketentuan normatif. Apabila tidak ditemukan kekeliruan, maka baru diperiksa validitas premis minor, yang biasanya berupa pernyataan tentang fakta.
Premis mayor menyatakan, “Kerakyatan dipimpin dengan sistem perwakilan merupakan ketentuan [yang] sesuai dengan sila ke-4 Pancasila”. Sila ini jelas telah direduksi dari kalimat cukup panjang, yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Sila ke-4 adalah sila yang paling kompleks untuk dipahami di antara kelima sila Pancasila. Setidaknya ada beberapa tafsir makna. Tafsir pertama menyatakan bahwa sila kelima ini mengamanatkan pembagian peran dari dua lembaga penting negara ini, yaitu peran “permusyawaratan” untuk lembaga MPR dan “perwakilan” untuk lembaga DPR. Tafsir lain yang lebih lazim menyatakan bahwa kedua terma “permusyawaratan” dan “perwakilan” tersebut menegaskan dua metode pengambilan keputusan. Jadi, asumsinya adalah bahwa semua aktivitas kerakyatan di negara ini dijalankan di bawah kepimpinanan yang hikmat bijaksana yang memutuskan setiap permasalahan dengan permusyawaratan/perwakilan.
Sila ke-4 ini memisahkan kata “permusyawaratan” dan “perwakilan” dengan tanda miring (/). Tanda garis miring harus dibedakan dengan tanda kurung. Tanda garis miring memperlihatkan adanya alternatif. Penulisan “pria/wanita”, misalnya, mengandung arti alternatif: apakah pria atau wanita. Lain halnya dengan “pria (laki-laki)” yang memberi makna yang sama dan sebangun pada kata “pria” dan “laki-laki”. Sila ke-4 menekankan pada mekanisme yang dijalankan oleh kerakyatan tersebut dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul, yaitu bisa dengan cara permusyawaratan yang mencakup seluruh komponen masyarakat secara utuh, atau dengan alternatif lain melalui mekanisme perwakilan.
Oleh sebab itu, berarti tidak semua aktivitas kerakyatan harus dijalankan dengan sistem perwakilan. Quantifier pada “[aktivitas] kerakyatan” di sini bukan universal, melainkan partikular. Dalil logika menyatakan bahwa silogisme dengan premis mayor partikular akan melahirkan konklusi yang meragukan.
Senyampang penjelasan tentang premis mayor ini dapat diterima, maka dapat dikatakan bahwa perumusan proposisi pada silogisme di atas berpotensi keliru. Ada logika melompat (jumping to conclusion) sebagai akibat kekeliruan quantifier yang partikular, tetapi ditafsir sebagai universal. Dengan sendirinya, kekeliruan perumusan pada premis mayor, telah menggiring keseluruhan silogisme tadi menjadi tidak valid. (***)