TITIK KRITIS PENGADAAN BARANG DAN JASA DI INDONESIA
Oleh PAULUS ALUK FAJAR DWI SANTO (Agustus 2014)
Pengadaan barang dan jasa merupakan lahan terbesar korupsi di Indonesia, bahkan disinyalir mencapai 80% dari keseluruhan peluang korupsi yang tercatat selama ini. Hal terbesar yang menjadi kendala hukum dalam upaya mengatasi tingkat korupsi di bidang ini adalah derajat pertanggungjawaban pengelola pengadaan barang dan jasa tersebut, mengingat ada banyak pihak yang terlibat dalam proses ini. Pihak-pihak tersebut bermula dari lini kebijakan yang mengajukan anggaran, pengguna anggaran, kuasa pengguna anggaran, pejabat pembuat komitmen, sampai dengan panitia pengadaan. Semua pihak-pihak ini saling berkelindan, sehingga terkadang sulit untuk menetapkan porsi kesalahan yang harus dimintai pertanggungjawabannya. Yang sering dijadikan sasaran tembak biasanya hanya para pengeksekusi di lapangan. Padahal, para pengintervensi pengambil kebijakan, termasuk kementerian/lembaga pemerintah non-kementerian, pemerintah daerah dan jajaran, praktis belum tersentuh karena mereka dapat bersembunyi di balik pendelegasian kewenangan ke bawahan mereka.
Ternyata payung hukum untuk pengadaan barang dan jasa hanya berkisar pada peraturan Presiden. Idealnya, payung hukum yang tepat harus berbentuk undang-undang agar dapat menjangkau semua lapisan, termasuk swasta. Perpres yang dimaksud adalah Perpres Nomor 54 Tahun 2010 yang diperbarui dengan Perpres Nomor 70 Tahun 2012. Peraturan ini belum mengatur secara tegas tentang alokasi pertanggungjawaban yang dimaksud, dalam arti jika kebijakan dibuat di tingkat gubernur tidak ada jaminan bahwa yang bersangkutan seharusnya dimintai pertanggungjawaban. Belum lagi muncul problema lain, bahwa kebijakan sering dianggap diskresi yang tidak dapat dipidana. Dalam hukum pidana sendiri terdapat asas yang mengatakan, “tiada pidana tanpa kesalahan,” sehingga apakah kekeliruan pengambilan kebijakan dapat dianggap sebagai “kesalahan pidana” merupakan kunci persoalan yang harus terjawab. Kalaupun ada kesalahan, kerap dianggap sekadar kesalahan administratif. Pekerjaan rumah selanjutnya adalah tentu bagaimana memformulasi sanksi yang lebih berat bagi pejabat negara pengambil kebijakan pengadaan barang dan jasa yang keliru.
Salah satu contoh dari pelanggaran yang kerap terjadi adalah “pemberian informasi” yang tidak seimbang/setara di antara pihak-pihak pengadaan barang/jasa, sehingga pemenang lelang sudah diatur sejak awal. Dalam konteks persaingan usaha tidak sehat, hal ini memang sudah tercakup sebagai pelanggaran serius, tetapi sayangnya belum mengarah ke pengenaan tindak pidana korupsi. Contoh lain adalah kontrak standar yang sengaja ditetapkan spesifikasinya agar bisa diarahkan ke pemenang tertentu. Hal-hal seperti ini merupakan modus yang harus terjangkau di dalam pengaturan yang baru di kemudian hari. (***)
Published at :