DEKRIMINALISASI ABORSI
Oleh SHIDARTA (Agustus 2014)
Aborsi adalah salah satu dari banyak isu kontroversial dalam hukum. Permasalahan etisnya berada dalam kerangka berpikir bahwa aborsi adalah pembunuhan manusia, terlepas mahluk yang dibunuh masih berupa janin. Persoalan tentang apakah “janin” ini sudah pantas disebut manusia atau belum, sangat bergantung pada kapan gumpalan darah dan/atau daging itu memiliki nyawa yang terpisah dari ibunya. Dalil-dalil agama akan berseliweran di sini, berusaha menyampaikan doktrin-doktrinnya. Kendati ada tolok ukur yang berbeda tentang kapan sebuah janin sudah memiliki nyawa, para ahli etika berkeyakinan bahwa setiap calon manusia itu telah memiliki hak untuk dilahirkan begitu terjadi konsepsi (the right to be born after conception).
Apabila pegangan etis di atas digunakan maka apapun alasannya, aborsi tetap terlarang secara moral. Aborsi adalah pembunuhan! Namun, pegangan etis ini ternyata juga tidak tunggal. Kaum utilitarian menawarkan kompromi. Menurut mereka, aborsi bisa jadi akan lebih bermanfaat daripada membiarkan janin itu tumbuh, padahal ia bakal lahir sebagai bayi yang tidak dikehendaki (unexpected child). Pandangan inilah yang rupanya diikuti oleh Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Menurut Pasal 31 dari peraturan ini, tindakan aboris hanya dapat dilakukan berdasarkan: (a) indikasi kedaruratan medis; atau (b) kehamilan akibat perkosaan. Khususnya untuk huruf (b) tersebut lalu diatur lagi pada ayat berikutnya, bahwa tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir. Kategori yang pertama, yakni kedaruratan medis dikenal dalam terminologi hukum sebagai abortus provocatus therapiticus. Kedaruratan itu ditandai dengan adanya ancaman nyawa dan kesehatan ibu dan/atau janin. Bisa juga karena janin tersebut menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan atau tidak dapat diperbaiki, sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan.
Tampaknya aborsi kategori kedaruratan media ini tidak akan banyak menimbulkan kontroversial, kendati tetap menyisakan problema etis. Lain halnya dengan kategori kedua, yaitu hamil akibat perkosaan. Sekalipun aborsi jenis kedua ini dibatasi jangka waktunya yaitu harus dalam kurun waktu 40 (empat puluh) sejak haid terakhir, aborsi ini bukan termasuk aborsi terapetis. Alasan pembolehannyaa lebih ke arah psikologis si ibu.
Untuk menghindari “penyelundupan hukum” oleh orang-orang yang ingin melakukan aborsi dengan pura-pura hamil akibat diperkosa, maka Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 mensyaratkan adanya surat keterangan dokter (untuk menentukan usia kehamilan), dan keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain (untuk menentukan adanya dugaan perkosaan). Tentu saja, filter pengaman tersebut masih mudah ditembus karena pemantauan atas kerja para profesional tersebut masih tergolong rawan di Indonesia. Ada bukti bahwa dokter-dokter tertentu berkeyakinan bahwa praktik aborsi yang mereka tangani untuk remaja-remaja yang hamil di luar nikah adalah bagian dari “penyelamatan” terhadap masa depan remaja tersebut. Cara berpikir demikian seharusnya tidak lagi bisa ditoleransi setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 ini.
Hal lain yang ingin disinggung dalam tulisan singkat ini adalah soal sifat limitatif yang dimuat di dalam Pasal 31. Kata “hanya” di dalam rumusan pasal tersebut memperlihatkan pembatasan untuk dua jenis aborsi itu saja. Tidak boleh lebih daripada itu. Sebagai contoh, apabila ada isteri yang hamil karena kegagalan menggunakan alat kontrasepsi, tidak bisa diterima sebagai alasan untuk minta dilakukan aborsi. Tindakan aborsi jenis ini adalah abortus provocatus criminalis. Demikian juga, konsep perkosaan di dalam perkawinan (marital rape) juga tidak boleh dimasukkan ke dalam denotasi dari Pasal 31. Padahal, konon sejumlah penggagas KUHP menginginkan agar delik perkosaan dalam perkawinan ini bisa diakomodasikan di dalam rancangan kodifikasi hukum pidana Indonesia yang baru.
Keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 merupakan suatu kebijakan dekriminalisasi aborsi, namun diterapkan secara limitatif. Dalam praktiknya, apa yang disinggung dalam peraturan ini sudah pula berjalan di masyarakat, sehingga dapat dipahami jika peraturan tersebut disikapi secara adem ayem oleh masyarakat. Tinggal kita menunggu seperti apa pengaturan teknis dari Pasal 31 tersebut, di samping korelasi dan konsistensinya dengan peraturan perundang-undangan lain yang tersebar di berbagai tempat, termasuk dalam KUHP mendatang. (***)
Published at :