JANJI PEJABAT PUBLIK DAN KONTRAK POLITIK
Oleh SHIDARTA (Juli 2014)
Tidak banyak orang yang menyadari bahwa “ongkos demokrasi” itu mahal. Istilah ongkos di sini harap dipahami secara apa adanya, yaitu sebagai biaya yang bernilai ekonomis. Negara dengan lebih dari 250 juta penduduknya ini, oleh beberapa kalangan, telah diklaim sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia setelah India dan Amerika Serikat. Kendati demikian, pemilihan langsung yang harus digelar untuk memilih pejabat publik mulai dari pasangan bupati/walikota, gubernur, dan presiden, sangat mencengangkan. Sebagian besar dari biaya ini harus ditanggung secara personal oleh para calon pasangan pejabat ini. Konon, untuk satu musim pemilihan pejabat setingkat bupati di sebuah daerah di Jawa, dana sebesar empat milyar rupiah adalah estimasi terendah untuk digelontorkan, terhitung mulai dari biaya resmi, setengah resmi, sampai tidak resmi. Belum lagi jika pasangan ini harus menyewa konsultan politik yang mulai menjadi fenomena tersendiri di negeri ini. Biaya dipastikan akan makin meningkat seandainya urusan hasil pemilihan ini lalu mengalir menjadi sengketa di Mahkamah Konstitusi.
Mengingat ongkos yang demikian mahal ini harus ditanggung oleh masing-masing calon pejabat tadi, tidak mengherankan jika mereka secara demonstratif berusaha memikat hati para pemilih sebanyak-banyak. At all cost! Janji-janji yang menyenangkan hati rakyat dengan mudah keluar dari mulut mereka, terkadang tanpa rasionalitas. Namun memang, rakyat lama-lama cerdas juga. Mereka tidak demikian saja percaya dengan janji yang sekadar janji. Beberapa di antara mereka mencoba mencari pegangan, yang antara lain dilakukan dengan meminta calon menandatangani dokumen yang populer disebut “kontrak politik”.
Persoalannya adalah apakah “kontrak politik” itu merupakan kontrak dalam kaca mata hukum? Apakah kontrak semacam ini sah dan dapat dituntut sebagai wanprestasi apabila di kemudian hari dilanggar?
Harap dicatat bahwa “kontrak politik” menjelang pemilihan tentu bukan kontrak perdata. Terminologi “kontrak” di sini hanya dipakai sebagai analogi semata karena bukan kontrak dalam arti sebenarnya. Kontrak hasil analogi ini diterapkan untuk lapangan hukum publik. Sekalipun demikian, bukan berarti tidak ada kontrak dalam hukum publik. Di dalam ranah hukum publik pun dimungkinkan dilakukan kontrak sebagaimana misalnya terjadi pada area hukum internasional. Perjanjian-perjanjian internasional, semacam traktat, konvensi, atau pakta yang dibuat oleh institusi publik sebagai subjek hukum internasional, adalah suatu kontrak dalam area hukum publik. Hanya saja, tidak tepat untuk menyebut janji seorang calon pejabat publik menjelang pemilihan sebagai suatu bentuk kontrak, baik dalam hukum perdata maupun publik.
Dalam doktrin common law, sebenarnya dikenal satu istilah, yaitu misrepresentation, yang di dalam Black’s Law Dictionary (1990: 1001) dimaknai sebagai “Any manifestation by words or other conduct by one person to antother that, under the circumstances, amounts to an assertion not in accordance with the facts. An untrue statement of fact. An incorrect or false representation. That which, if accepted, leads the mind to an apprehension of a condition other and different from that which exits. Collequally it is understood to mean a statement made to deceive or mislead.”
Mengingat janji-janji calon pejabat publik juga sering ditayangkan dalam bentuk iklan, menarik juga untuk mengamati apakah konsep misrepresentation ini bisa digunakan sebagai dalih menuntut ganti-rugi atas kegagalan pemenuhan janji kontrak. Sayangnya, ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang Penyiaran dan Undang-Undang Pers, tidak memberi landasan yang kuat untuk menunjukkan eksistensi misrepresentation ini. Untuk itu, tampaknya dasar-dasar yang ada di dalam KUH Perdata kembali harus dijadikan pegangan sementara sebagai pisau analisis.
Dalam sistem civil law, doktrin misrepresentation sebenarnya mulai dilirik, antara lain dalam hukum perlindungan konsumen kita. Janji suatu iklan adalah contoh yang paling pas untuk memperlihatkan berlakunya doktrin ini dan beberapa pasal dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah memberikan pengaturan bahwa iklan harus menghormati hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang benar. Iklan adalah pesan dari produsen/pelaku usaha, yang di dalamnya memuat informasi tentang produk yang ditawarkan ke konsumen. Dalam informasi ini terkadang terselip pernyataan tentang fakta (statement of fact), misalnya barangnya memiliki kualitas menyembuhkan, diakui keunggulannya oleh institusi bergengsi di berbagai negara, lulus uji mutu di laboratorium tertentu, tidak mempunyai efek samping, dan seterusnya. Konsumen boleh jadi sangat tertarik, dan kemudian memutuskan jadi membeli produk itu atas dasar informasi tadi. Apabila kemudian terbukti fakta yang diungkapkan di dalam iklan ini tidak benar, maka informasi yang menipu dan menyesatkan tadi sudah dapat menjadi dasar untuk mengajukan gugatan atas dasar misrepresentasi.
Kontrak membutuhkan kejelasan subjek-subjeknya. Juga harus jelas distribusi hak dan kewajibannya. Sebagai contoh, sepasang calon gubernur di Jakarta pernah berjanji untuk membebaskan Jakarta dari banjir dan kemacetan dalam tiga tahun pemerintahannya (baca: jika terpilih!). Beruntung pasangan ini gugur pada putaran pertama, sebagai bukti bahwa rakyat Jakarta tidak lagi percaya dengan obralan janji seperti ini. Apabila secara hipotetis, pada saat itu rakyat Jakarta benar-benar percaya dan kemudian secara transaksional memilih yang bersangkutan sebagai gubernur, apakah berarti ada ikatan hukum di antara kedua kubu (pejabat versus rakyat) tadi?
Sekali-kali tidak! Janji ini tidak memiliki ikatan secara hukum. Dengan memakai contoh di atas, marilah kita tinjau persoalannya dari dimensi keperdataan mengikuti syarat-syarat sah perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Pertama, persoalan ada tidaknya kesepakatan. Andaikata ada draf kontrak yang dibuat dan ditandatangani oleh si calon gubernur, tetap patut dipertanyakan siapa-siapa saja yang terlibat dalam perjanjian ini. Siapa rakyat yang dimaksud? Apakah rakyat Jakarta cukup terwakili? Jika terwakili, apakah tolok ukuranya mereka itu sebagai wakil rakyat Jakarta? Kedua, soal kecakapan. Kerap terjadi di dalam “kontrak politik” seperti ini, subjek yang melakukan kontrak itu tidak dapat dibebani kewajiban hukum guna memenuhi janjinya. Alasan yang paling jelas adalah karena untuk mewujudkan secara konkret janji-janjinya, kerap diperlukan otoritas lain di luar diri si subjek. Misalnya, ada begitu banyak persyaratan dan kondisi yang harus dipenuhi sebelum banjir dan kemacetan di Jakarta bisa diatasi. Dan, beban ini tidak sepenuhnya ada di bawah otoritas gubernur. Ketiga, janji-janji semacam klaim bakal mampu mengatasi banjir dan macet dalam tiga tahun merupakan janji yang terlalu umum. Orang akan gampang berkilah, banjir setinggi apa, pada titik banjir yang mana? Bahkan, seorang mantan Gubernur DKI pernah menyangkal kalau limpahan air di suatu lokasi sebagai banjir. “Itu bukan banjir, itu hanya genangan!” kilahnya. Keempat, kita dapat dengan jelas mengatakan bahwa kontrak politik dengan imbalan suara pemilih di saat hari pencoblosan merupakan sebuah transaksi yang tidak halal secara hukum.
Oleh sebab itu, pada hakikatnya “kontrak politik” adalah sekadar janji yang mengikat secara moral. Walaupun ada pameo bahwa janji adalah hutang, pada kenyataannya hutang ini tidak dapat dieksekusi secara legal. Jadi, rakyat seharusnya tidak gampang terperdaya oleh janji manis para calon pejabat publik, apalagi jika janji itu diucapkan di luar jangkauan akal sehat kita. (***)
Published at :