BEBERAPA CATATAN ATAS KONSEP RANCANGAN KUHP
Oleh AHMAD SOFIAN (Juni 2014)
Beberapa waktu lalu Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengadakan seminar dengan topik “R-KUHP, Kodefikasi atau Kompilasi ?”. Sebagai pembicara kunci dalam seminar ini adalah Tim Kajian R-KUHP FH-UI diwakili oleh Dr. Eva Achjani Zulfa, Prof. Dr. Barda Nawawi Arief dan Staf Ahli Menteri Hukum dan HAM Bagian Perundang-undangan yaitu Dr. Suharyono. Seminar ini dihadiri oleh ratusan peserta. Jurusan Hukum Bison’s BINUS juga diundang sebagai peserta dan diwakili oleh Ahmad Sofian, S.H., M.A.
Seminar ini dimulai dari pemaparan position paper oleh Eva Achjani Zulfa dari Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum UI. Dalam position paper ini, beliau mengajukan kritik atas konten dari R-KUHP yang diajukan oleh Pemerintah kepada DPR-RI. Beberapa kritik mendasar yang beliau sampaikan adalah masih terjadinya “tumpang tindih” atas pengaturan delik yang ada di dalam R-KUHP. Hal penting lain yang diajukan oleh Tim FH UI ini adalah: “penyatuan tindak-tindak pidana dalam satu buku kodifikasi.” Tim juga berharap kehadiran KUHP yang baru nanti sekaligus merupakan upaya membereskan sistem hukum pidana dan pemidanaan yang kacau sebagai akibat banyaknya UU Pidana dan UU Non Pidana yang memuat sanksi Pidana. Harapannya, KUHP tersebut dapat memayungi sistem hukum pidana dan pemidanaan secara Nasional. Pertanyaan yang diajukan oleh tim ini adalah : “apakah hal ini akan mereduksi sejumlah ketentuan pidana di luar KUHP atau tetap membuka kemungkinan untuk merumuskan ketentuan pidana lain di luar KUHP?”.Terkait dengan masalah ini Dr. Suharyono, menjelaskan bahwa berdasarkan pasal 211 R-KUHP menyatakan bahwa “Ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab V Buku Kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang-undangan lain, kecuali ditentukan lain menurut peraturan perundang-undangan tersebut.” Ini artinya R-KUHP tetap memberlakukan ketentuan-ketentuan pidana yang ada di luar KUHP. Diakui R-KUHP tidak akan mungkin mengatur semua hal yang terkait dengan delik pidana, sehingga dibuka peluang undang-undang di luar R-KUHP untuk diberlakukan kembali.
Prof. Barda Nawawi Arief juga memberikan kritik atas position paper ini. Beliau mengatakan bahwa R-KUHP adalah Pembaharuan KUHP dan pembaharuan sistem hukum pidana/sistem pemidanaan secara menyeluruh. Yang ingin dilakukan adalah penataan ulang (rekonstruksi/reformulasi) ”Rancang Bangun” keseluruhan sistem hukum pidana nasional yg terpadu; tidak hanya membangun perumusan tindak pidana. Tindak pidana hanya salah satu bagian kecil atau sub dari sistem hukum pidana. Beliau mengutip pendapat Nils Jareborg, yang mengatakan bahwa membangun sistem pemidanaan sama dengan membangun the Structure of the Penal System (criminalization; sentencing; execution of punishment). Terkait dengan kodifikasi hukum dalam R-KUHP, beliau mengandaikan Wetboek van Straftrecht (WvS) yang diberlakukan di Indonesia sebagai ”rumah besar” yang sudah tua dan reot. Rumah besar ini perlu diperbaiki, direnovasi, dan diganti bagian-bagian tertentu. Bahkan tiang-tiang fondasi yang sudah keropos pun perlu dibuatkan tiang fondasi yang lebih baik. Karena itu R-KUHP adalah sebagai impian dari ”rumah baru” yang besar dan nyaman. Rumah besar yang baru ini tentu saja diperlukan menggantikan rumah besar yang sudah keropos tersebut. Jadi rumah besar yang baru ini diandaikan sebagai R-KUHP. Meskipun ada rumah besar yang baru, tetap memerlukan kamar-kamar yang ada di rumah besar ini.. Namun kamar-kamar tidak boleh mengganggu fondasi dari rumah besar yang baru ini. Kamar-kamar ini diandaikannya sebagai undang-undang pidana khusus, seperti Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Menurut pandangan penulis, kritik yang diajukan terhadap R-KUHP dalam seminar di atas terkesan mempersoalkan kembali tentang ide ”aliran positivisme” dalam hukum pidana Indonesia. Aliran ini menganggap penting kehadiran kodifikasi, meskipun kodifikasi memberikan ”ruang yang terbatas” pada perkembangan hukum. Aliran ini telah ditentang oleh mazhab sejarah, terutama melalui salah satu pemikirnya Von Savigny, yang menyatakan kodifikasi telah mengekang dan membatasi” hokum yang hidup di dalam masyarakat. Ide kodifikasi hanya akan memberangus kekayaan hukum yang ada di dalam masyarakat.
Terkait dengan masalah ini R-KUHP lalu memperkenalkan dan memasukkan ajaran melawan hukum yang materiil. Ajaran melawan hukum yang materiil ini dalam rangka memperkaya kodifikasi. Ajaran melawan hukum materiil dapat ditafsirkan sebagai pemaknaan ajaran Von Savigny tentang ”jiwa masyarakat” (Volksgeist), sehingga dapat ditafsirkan sebagai ”hukum yang masih dipedomani oleh masyarakat dalam menyelesaikan berbagai konflik yang terkait dengan perbuatan pidana”.
Secara akademik ”ajaran melawan hukum materiil (hukum yang hidup)” mudah dipahami, tetapi menjadi sulit ketika ajaran ini harus dipedomani oleh penegak hukum termasuk hakim. ”Penggalian” hukum yang hidup ini bukan sesuatu yang mudah, karena pendidikan hukum kita masih terbatas pada penerapan kodifikasi dengan dilandaskan pada ajaran legalitas yang sempit. Terkati dengan masalah ini patut diipertimbangkan pandangan guru hukum pidana termasyur di Indonesia yaitu Prof. Moeljatno. Beliau mengajarkan tentang pentingnya ajaran melawan hukum materil untuk dipahami oleh para penegak hukum dan penegak keadilan. Pemahamaan ajaran ini akan memberikan pemahaman yang lebih teknis dalam menggali ”hukum yang hidup” tersebut. Dengan demikian, menurut pandangan beliau tidak pada tempatnya mempertentangkannya dengan kodifikasi hukum pidana karena kodifikasi hukum pidana yang dikembangkan di Indonesia akan diperkaya dengan nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyrakat. Dengan kata lain, Prof. Moeljatno ini mengatakan bahwa kodifikasi hukum pidana kita adalah kodifikasi plus-plus, plus jiwa rakyat. (***)
Prof. Barda Nawawi Arief (kiri) sedang menyampaikan pandangannya (Foto oleh Panitia Seminar)
Published at :