People Innovation Excellence

POSISI BERDIRI HAKIM (Bagian 3/Terakhir)

Oleh SHIDARTA (Juni 2014)

Di suatu acara sarapan pagi, tatkala sama-sama diminta menjadi juri lomba eksaminasi putusan di sebuah universitas Islam negeri di Bandung beberapa bulan lalu, saya berkesempatan bertukar pikiran dengan seorang yuris senior dari Amerika Serikat yang lama berpraktik hukum dan menetap di Indonesia. Namanya Greg Churchill. Kami berbicara tentang sistem juri dalam peradilan di Amerika Serikat. Satu pernyataannya yang menarik dan pantas untuk saya ingat sampai sekarang adalah bahwa sistem juri sebenarnya berfungsi untuk menjaga martabat para hakim.

Pernyataan ini menarik karena menyadarkan kita bahwa hakim bukan sosok yang tahu segala hal. Ia mungkin tahu hukum (“ius curia novit” atau “iura novit curia”), tetapi ia belum tentu tahu fakta dengan baik. Artinya, fakta adalah sebuah keniscayaan yang harus dinilai, tetapi penilaian ini tidak membutuhkan keahlian seorang hakim. Masyarakat awam pun dapat menilai fakta, sebagai suatu yang layak dibenarkan atau disalahkan menurut tatanan nilai-nilai yang wajar dalam kehidupan bersosialisasi. Dengan perkataan lain, masyarakat sudah memiliki sistem nilai sendiri tentang seberapa jauh tindakan itu bisa diberi label “antisosial” dan dari tindakan “antisosial” itu mana yang bisa mereka toleransi dan mana yang tidak.

Sistem peradilan ala Inggris kerapkali dilakukan dengan sistem juri (Indonesia konon pernah menerapkan sistem ini ketika di beberapa wilayah kita sempat diduduki oleh Inggris). Dalam sistem juri ini, warga masyarakatlah yang diminta menilai fakta ini, bukan oleh hakim. Dengan demikian, beban berat bagi hakim untuk menilai fakta, sebenarnya sudah dialihkan. Sekalipun demikian, tentu hakim punya kewenangan untuk mengambil alih penilaian ini apabila ia melihat ada bias yang fatal dalam penilaian juri. Dalam praktik, hak “veto” seperti ini jarang dipakai.

Jadi, tugas hakim sesungguhnya lebih sebagai fasilitator dalam persidangan. Apabila di kemudian hari, ternyata penilaian juri tentang fakta ini keliru, sang fasilitator tidak akan menjadi sasaran tudingan. Inilah yang dimaksud dengan fungsi menjaga martabat atau kewibawaan hakim.

Dalam sistem peradilan di Indonesia yang mengadopsi model Eropa Kontinental, posisi juri ini dapat diambil alih oleh sistem majelis. Majelis bisa tiga sampai lima orang hakim. Untuk sampai pada penarikan kesimpulan dan pengambilan keputusan, majelis melakukan musyawarah. Di sinilah letak titik singgung antara fungsi juri dan fungsi majelis. Para hakim yang ada di majelis menjalani fungsi tadi, baik disadari atau tidak. Masing-masing di antara mereka membawa posisi berdiri dan kaca mata penilaian yang pada hakikatnya “subjektif” (kendati diasumsikan “objektif”). Posisi berdiri dan  sudut pandang penilaian ini diupayakan untuk dipertemukan, sehingga muncul posisi berdiri dan sudut pandang penilaian yang intersubjektif.

Oleh sebab itu, kualitas putusan hakim sesungguhnya secara sangat krusial dipengaruhi oleh kualitas majelis tatkala menggelar musyawarah. Pada perkara-perkara yang pelik (kompleks), sangat dianjurkan hakim tidak buru-buru untuk mengambil sikap sebelum semua unsur dalam majelis hakim ini diberi kebebasan menyuarakan pandangannya. Apabila titik temu intersubjektif ini tetap saja tidak dicapai secara bulat, maka pendapat berbeda dari si hakim harus diberi ruang yang luas, baik dalam posisi dissenting maupun concurring.

Karena orang lain di luar majelis tidak memiliki akses untuk mengikuti permusyawaratan tersebut, maka gambaran adanya “perdebatan” yang intersubjektif itu selayaknya bisa dilacak dari pertimbangan hakim dalam putusan. Pertimbangan-pertimbangan memang harus digiring pada satu titik yang disepakati (paling tidak oleh mayoritas anggota majelis), tetapi untuk sampai pada satu titik tersebut, apabila memang ada pandangan berbeda, harus juga dimuat agar diketahui para pencari keadilan dan pemerhati hukum.

Dengan demikian adanya pandangan yang menyatakan bahwa di tingkat judex facti seharusnya tidak boleh ada pendapat hakim yang berbeda untuk dicantumkan di dalam putusan, patut untuk dipertanyakan. Jika benar dalam permusyawaratan itu menghadirkan pendapat berbeda, sekalipun suara minoritas, ia layak untuk dibuka ke publik. Pertama, hal ini memperlihatkan bahwa musyawarah majelis tidak sekadar formalitas. Kedua, ia memberi ruang ekspresif bagi hakim yang memiliki pendapat berbeda demi menjaga keyakinan hukumnya. Ketiga, ia juga menjadi sarana pembelajaran yang justru baik bagi publik. keempat, ia berpotensi menjaga kewibawaan putusan dan pada gilirannya juga: profesi hakim.

Hal terakhir ini perlu diberi elaborasi mengingat relevansinya dengan isu yang ingin diangkat dalam tulisan ini. Di sini ingin digarisbawahi bahwa tidak tertutup kemungkinan, suatu putusan yang diberi catatan adanya pendapat berbeda, dalam perjalanannya ternyata ditemukan ada “kejanggalan”, baik disengaja maupun tidak. Boleh jadi “kejangggalan” ini sebenarnya sudah pernah disuarakan oleh salah seorang hakim di dalam majelis, tetapi ia tidak mampu meyakinkan rekan-rekannya untuk mengikuti pendapatnya. Apabila kondisi seperti ini tidak dimunculkan di dalam putusan (pada bagian perbedaan pendapat), maka kesan negatif akan dialamatkan kepada keseluruhan anggota majelis. “Tindakan penyelamatan” untuk menjaga kewibawan putusan dan profesi hakim, dengan demikian sudah diambil dan dipersiapkan.

Dalam beberapa kali progam penelitian putusan di Komisi Yudisial, ada sejumlah hakim agung yang diminta untuk memilih putusan-putusan mereka yang mereka nilai merepresentasikan kualitas profesionalisme mereka sebagai hakim agung. Sangat menarik untuk mendapati bahwa di antara para hakim agung ini, ada yang memilih putusan yang di dalamnya tercantum dissenting opinon-nya, sekalipun yang bersangkutan tahu bahwa pandangannya berbeda dan tidak bisa diterima oleh mayoritas anggota majelis. Di sinilah terletak contoh konkret dari ekspresi kebanggaan profesionalisme seesorang sebagai hakim. Di sinilah letak kewibawaannya dalam menjalankan profesi luhur tersebut. (***)


Published at : Updated
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close