POSISI BERDIRI HAKIM (Bagian 2)
Oleh SHIDARTA (Juni 2014)
Pada tulisan sebelumnya (lihat tulisan “Posisi Berdiri Hakim [Bagian 1]”), dikatakan bahwa dapat diterima secara filosofis adanya imparsialitas ketika hakim harus menghadapi kasus-kasus yang sedang ditanganinya. Imparsialitas merupakan kata kunci untuk memperlihatkan posisi berdiri hakim yang objektif, sekaligus menjamin adanya penilaian yang objektif pula.
Ada banyak asas hukum yang mengacu pada posisi berdiri dan penilaian demikian. Misalnya, hakim harus mendengar pihak-pihak yang berbeda posisi (audi alteram partem). Tidak ada hakim yang baik untuk mengadili perkaranya sendiri (nemo iudex in sua causa (sering juga ditulis versi lain: in propria causa nemo iudex, atau dibalik: nemo iudex in propria causa); dan masih banyak asas lagi. Dengan perkataan lain, hakim dituntut untuk objektif.
Objektivitas adalah isu menarik dalam ranah epistemologis. Seberapa mungkin seseorang dapat menghadirkan penilaian yang objektif itu? Mari kita lihat apa yang terjadi dalam persidangan. Di sini hakim disodorkan gambaran tentang beberapa versi fakta oleh para pihak. Fakta adalah peristiwa yang memiliki dimensi ruang dan waktu. Artinya, tidak ada yang bisa disebut “fakta” jika tak dapat dinyatakan di mana dan kapan peristiwa “faktual” itu terjadi atau suatu hak “faktual” itu muncul/berakhir. Dengan demikian, di persidangan pun sebenarnya terjadi “rekonstruksi” terhadap fakta-fakta yang berserakan itu, sehingga menjadi sebuah plot cerita. Plot ini adalah kronologi yang bercerita secara diakronis tentang masa lalu. Tepatnya, plot adalah sebuah cerita sejarah.
Di sini perlu kehati-hatian. Seperti kata filsuf Paul Ricoeur, plot itu dapat dibangun oleh siapa saja. Terkadang potongan-potongan (sekuens) yang berserakan, yang mungkin saja tidak saling berhubungan itu, dipaksakan untuk dirangkaikan sehingga menjadi cerita bersambung. Ricoeur menyebut sambungan demikian sebagai rangkaian waktu kosmologis.
Dalam logika, sejak lama dihindari untuk melakukan rekonstruksi fakta secara asal-asalan. Hal ini biasa dikenal sebagai kesesatan (fallacy) post hoc ergo propter hoc (peristiwa yang terjadi belakangan selalu diakibatkan oleh peristiwa yang kebetulan mendahuluinya). Hakim dalam hal ini adalah figur yang diharapkan dapat melihat fakta-fakta itu sebagaimana sebenarnya terjadi. Atau meminjam ucapan sejarawan Leopold von Ranke sebagai “wie es eigentlich gewesen“.
Namun, tidak dapat dihindari bahwa hakim pun sudah memiliki kerangka (frame) berpikir sendiri. Kerangka ini sudah terisi. Kerangka ini bukan tabula rasa. Isian kerangka ini adalah sistem nilai yang bisa bersumber dari latar belakang keluarga, pergaulan, pendidikan, agama, ideologi negara, jenis kelamin, struktur dalam institusi peradilan, kondisi ekonomi, tekanan psikologis, bahkan seperti kata Jerome Frank, bisa pula sampai ke makanan sehari-hari yang disantap si hakim. Kaum realis hukum kerap menyuarakan fact-skepticism demikian.
Jadi, imparsialitas pada akhirnya adalah sebuah asumsi yang tidak pernah benar-benar bisa dijamin selalu hadir dalam persidangan. Hakim adalah personifikasi hukum. Sebagai personifikasi berarti ia menghidupkan hukum. Di dalam personifikasi itu berarti ada subjektivitas si personal. Imparsialitas dengan demikian pada akhirnya bertemu vis-a-vis dengan subjektivitas, bukan dengan objektivitas.
Hakim yang sadar pada faktor subjektivitas ini tidak akan mungkin dapat mengalihkannya menjadi objektivitas. Wacana dalam epistemologis menolak klaim demikian, mengingat objektivitas adalah sebuah nomena yang tak bisa ditangkap oleh si subjek (hakim) yang selalu harus menjaga jarak dengan pihak-pihak yang berperkara. Hakim hanya dapat menangkap fenomena, bukan nomena. Oleh sebab itu, posisi berdiri dan penilaian hakim yang disebut-sebut objektif dan imparsial itu sebenarnya bersifat semu belaka. Ini adalah sebuah fiksi hukum, tetapi tokh harus diyakini oleh ilmu hukum (dogmatis) sebagai sesuatu yang eksis di dalam hukum.
Untuk menjaga supaya imparsialitas bisa mendekati ekspektasi kita sebagai hamba-hamba hukum, maka hukum acara (procedural law) diberi tugas untuk membangun koridornya. Asas-asas yang disebutkan di awal tulisan ini antara lain adalah bagian dari fondasi bangunan koridor dimaksud. Hakim yang baik harus menghormati koridor dalam hukum acara ini, kendati ia sadar bahwa atura main ini tidak boleh sampai mereduksi dan/atau mendegradasi nilai-nilai yang lebih hakiki dalam suatu putusan hakim. Jika sampai penghormatan ini dilanggar tanpa alasan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral, maka marwah kewibawaan putusan akan serta merta menjadi hilang.
Persoalannya adalah, bagaimana caranya kewibawaan putusan (dengan sendirinya juga kewibawaan hakim sebagai penyandang profesi luhur) tersebut dapat dijaga dengan baik? Topik ini akan diangkat dalam tulisan berikutnya. (***)
Published at :