POSISI BERDIRI HAKIM (Bagian 1)
Oleh SHIDARTA (Juni 2014)
Dalam penetapan posisi berdiri figur-figur (untuk menghindari penyebutan “pihak-pihak”) dalam persidangan kasus pidana, seorang ahli hukum Belanda bernama Trapman, memberi predikat untuk hakim sebagai “Een objectieve beoordeling van een objectieve positie” (sebuah penilaian objektif dari sebuah posisi objektif). Sebagai perbandingan, untuk jaksa penuntut umum, dikatakannya: “Een subjectieve beoordeling van een objectieve positie” (sebuah penilaian subjektif dari sebuah posisi objektif). Penasihat hukum terdakwa (advokat) memiliki posisi yang disebutnya: “Een objectieve beoordeling van een subjectieve positie” (sebuah penilaian objektif dari sebuah posisi subjektif). Terakhir, tentu seorang terdakwa yang memiliki: “Een subjectieve beoordeling van een subjectieve positie” (sebuah penilaian subjektif dari sebuah posisi subjektif).
Penjelasannya kurang lebih sebagai berikut. Ketika suatu perkara masuk dari proses penyidikan ke penuntutan, jaksa sebenarnya sudah menggunakan sudut pandang (baca: penilaian) yang subjektif. Kendati demikian, jaksa adalah pejabat yang mewakili negara, sehingga dalam tugasnya ia adalah penuntut yang mewakili negara dan publik keseluruhannya. Itulah sebabnya ia disebut penuntut umum. Posisi berdiri (standpoint) jaksa penuntut umum ini dengan demikian harus objektif. Jadi, apabila persidangan sudah sampai pada tahap pembacaan sanksi pidana yang diajukan, jaksa penuntut umum harus mengedepankan penilaian objektif ini.
Apakah posisi berdiri yang objektif ini mempengaruhi penilaian? Pada akhirnya, ya! Sebabnya adalah karena jaksa sudah mengikuti seluruh proses pembuktian, sehingga ia sudah dapat menilai kembali apakah dakwaan awalnya pada saat pembacaan tuntutan masih sama dengan pasca-acara pembuktian. Jika penilaiannya berbeda sama sekali, ia seharusnya tidak segan-segan untuk meminta hakim membebaskan terdakwa atau meminta hakim melepaskannya dari segala tuntutan hukum. Di sinilah letak penilaian akhir jaksa yang semula “subjektif” tadi tetapi berdialektika dengan posisi berdirinya yang objektif.
Hal sebaliknya terjadi pada advokat. Walaupun ada adigium bahwa advokat tidak boleh memilih-milih perkara yang akan dibelanya, pada kenyataannya profesi ini memiliki kebebasan untuk menolak apabila ia tidak merasa nyaman dengan perkara yang disodorkan kepadanya. Di beberapa lembaga bantuan hukum yang dikelola perguruan tinggi, misalnya, mereka menolak untuk terlibat pembelaan kasus-kasus korupsi dan narkotika.
Posisi berdiri ini mencerminkan objektivitas, dalam arti adanya kebebasan profesional. Namun, ketika kasus itu sudah diterimanya dalam posisi sebagai kuasa hukum terdakwa, komitmen untuk membela kepentingan terdakwa sudah harus dipikulnya secara profesional pula. Artinya, sudut pandang penilaiannya atas kasus itu sudah harus sama dengan terdakwa. Dengan cara demikian, ia akan optimal membela hak-hak moral dan hak-hak hukum terdakwa. Posisi objektif ini dapat saja dikedepankan lagi apabila dalam proses pembelaan itu, ia merasa visinya sebagai profesional tidak lagi sejalan dengan terdakwa. Dalam hal demikian, ia wajib untuk mengundurkan diri sebagai kuasa hukum terdakwa. Melalui kesadaran posisi berdiri ini, jelas tidak perlu terdengar sindiran yang meragukan keluhuran (officium nobile) profesi advokat dengan menyatakan advokat itu senantiasa “maju tak gentar membela yang bayar”. Yang seharusnya adalah “maju tak gentar membela chromatin profesi”.
Untuk posisi berdiri terdakwa, tentu sudah dapat diduga, bahwa kasus yang menimpa dirinya akan dijalaninya sejak awal sampai akhir dalam posisi yang subjektif. Sekalipun penilaian dan posisi berdiri terdakwa selalu subjektif, ia memiliki posisi tawar yang paling rendah dalam peradilan pidana. Penguatan posisi tawar ini disodorkan oleh hukum acara, antara lain dengan bantuan hukum melalui jasa profesi advokat. Selain itu, mekanisme pembuktian juga memperlihatkan penguatan posisi tawar tadi. Misalnya, dalam proses penyodoran alat-alat bukti selama persidangan, giliran terakhir harus jatuh pada terdakwa. Itulah sebabnya pembacaan pembelaan terdakwa (pledooi) harus dijadwalkan lebih belakangan daripada pembacaan tuntutan pemidanaan. Filosofi ini tetap dipegang di pengadilan manapun karena secara psikologis, giliran lebih belakangan akan memberi keuntungan psikologis di hadapan penilai yang menentukan keseluruhan proses peradilan itu.
Siapa yang dimaksud dengan penilai yang paling menentukan dalam peradilan? Dia adalah figur hakim. Hakim memiliki penilaian yang objektif, berangkat dari posisi berdiri yang objektif pula. Oleh sebab itu, asas yang menyatakan adanya praduga tidak bersalah (presumption of innocence) paling tepat dialamatkan ke figur ini, kendati secara hukum memang semua komponen yang terlibat di dalam proses peradilan, bahkan termasuk masyarakat awam yang ada di luar persidangan pun, wajib menghormati asas ini. Logikanya sederhana: tidak akan ada keadilan jika kita “menghukum” orang lain sebelum ia melewati semua due process of law yang layak dijalaninya.
Dengan filosofi “Een objectieve beoordeling van een objectieve positie” itu pula akhirnya kita dapat menerima jika institusi kehakiman kita memiliki kemerdekaan (independensi) dan figur-figur hakimnya harus imparsial dalam memutus perkara. Lagi-lagi urusan yang terakhir ini (imparsialitas) menjadi topik yang menarik untuk diperbicangkan. Kita bisa lanjutkan isu ini pada tulisan berikutnya! (***)
Published at :