IMPLEMENTASI FEMINIST JURISPRUDENCE DALAM PERADILAN INDONESIA
Oleh ANGGIA DYARINI MOHAMMAD (Mei 2014)
Gerakan feminisme yang muncul di Indonesia sejak era pasca-reformasi bukanlah hal yang baru di dunia hukum dan politik. Gerakan ini diilhami dari teori Feminist Jurisprudence yang muncul terlebih dahulu di Eropa, yang justru merupakan sintesis dari gerakan feminisme yang muncul secara bertahap dan memiliki karakter yang berbeda berdasarkan latar belakang bangsa. Pada sebagian besar bangsa- bangsa di dunia (khususnya di benua Eropa dan Amerika) dari abad ke-18 hingga awal abad ke-20 terdapat ketidaksetaraan jender yang menghalangi kaum perempuan untuk berpartisipasi secara penuh dalam kehidupan sipil. Dasar pembenar feminist jurisprudence ini walaupun secara objektif dapat dikatakan bahwa teori ini tidak bersifat netral dan universal (karena mengutamakan perspektif kaum perempuan) yaitu pada kenyataan bahwa konsep dan prinsip hukum itu sendiri tidak bersifat netral dan universal, karena dalam praktiknya, hukum melihat permasalahan dari perspektif kaum lelaki, sehingga teori ini muncul sebagai “jawaban” terhadap realitas penerapan hukum sebelumnya.
Terdapat beberapa cabang dalam teori ini, yaitu Marxist – feminists, socialist – feminists dan liberal – feminist. Marxist Feminist menyatakan bahwa terdapat pembagian kelas secara gender yang terbagi atas laki-laki dan perempuan yang diimplementasikan secara tidak adil dalam kehidupan, sehingga mereka (perempuan) menuntut adanya kesetaraan jender antarkelas (jender). Socialist Feminist menyatakan bahwa prinsip-prinsip sosialis harus digunakan untuk meringankan penindasan secara jender. Di sisi lain, Liberal Feminist menyatakan bahwa terdapat perbedaan perlakuan antara tenaga kerja laki-laki dengan perempuan, sehingga diperlukan kesetaraan dalam perlakuan antarjender. Ketiga cabang aliran tersebut menuntut kesetaraan gender karena kodratnya, seperti dalam hal harta kekayaan, hak-hak tenaga kerja perempuan dan hak-hak perempuan dalam hukum dan politik.
Di Indonesia, isu feminisme dalam hukum masih belum terlalu berkembang sebagaimana halnya di negara-negara Barat, dan baru populer sekitar dasawarsa terakhir, pasca-reformasi politik Indonesia. Salah satu perkara yang cukup erat kaitannya dengan isu feminisme yaitu perkara perselisihan hubungan industrial antara para guru perempuan Yayasan Kesejahteraan Karyawan Pertamina Dumai sebagai penggugat melawan Yayasan Kesejahteraan Karyawan Pertamina (YKKP) Dumai sebagai tergugat sebagaimana tercantum dalam putusan kasasi Mahkamah Agung No. 1604 K/Pdt/2004. Dalam perkara ini, sengketa timbul karena YKKP memberlakukan modus diskriminatif kepada para guru perempuan tersebut, di mana mereka tidak memperoleh hak-hak natural yang sama seperti yang diperoleh pekerja laki-laki. Hal yang terjadi yaitu bahwa pekerja perempuan walaupun sudah berkeluarga dan mempunyai anak tetap diperlakukan sebagai pekerja berstatus lajang, jadi tidak memperoleh tunjangan bagi suami/anaknya, sedangkan pekerja laki-laki yang sudah berkeluarga memperoleh tunjangan bagi istri/anaknya. Hal ini merupakan bentuk ketidakadilan yang diskriminatif, karena meniadakan hak natural kodrati perempuan sehingga terjadi ketidaksetaraan jender.
Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim di antaranya menyebutkan bahwa peraturan perusahaan YKKP yang mengatur diskriminasi hak-hak pekerja wanita dan pria adalah tidak mempunyai kekuatan hukum karena bertentangan dengan asas persamaan hak antarjender. Menurut kodratnya, perempuan (seperti halnya laki-laki) akan berkeluarga, dan perempuan (seperti halnya laki-laki) memiliki hak yang sama untuk bekerja dan memperoleh penghidupan yang layak, sehingga perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk memperoleh fasilitas atas penghasilan dan tunjangan pekerjaan tanpa adanya pembedaan yang bersifat diskriminasi jender. Di sinilah terlihat penerapan feminist jurisprudence dalam putusan peradilan di Indonesia, yaitu bahwa perbedaan jender tidak dapat dijadikan alasan perbedaan pembayaran penghasilan atau tunjangan oleh perusahaan. (***)
Published at :