People Innovation Excellence

HUSH…! INILAH “INDONESIA”

Oleh SHIDARTA (Mei 2014)

Cerita berikut adalah satire yang saya kutip langsung dari Prof. Hikmahanto Juwana ketika beliau tampil sebagai pembicara dalam sebuah seminar di Semarang beberapa hari lalu. Konon, menurutnya, suatu ketika ada seorang anak Singapura membuang sampah sembarangan di salah satu sudut kota tersebut. Sang ayah melihat perilaku ini lalu membisiki dan meminta anak itu memungut kembali sampah itu. Anak ini melakukan apa yang diminta sambil menangis ketakutan. Kejadian ini disaksikan oleh seorang turis dari Indonesia. “Apa yang kamu lakukan, sehingga anakmu sampai demikian ketakutan?” tanya orang Indonesia ini. Sang ayah menjawab sambil tersenyum. “Saya hanya bilang tadi sama anak saya: ‘Ayo pungut kembali sampah yang kamu buang. Kalau tidak, nanti kamu dikira orang Indonesia’.”

Perilaku membuang sampah sembarangan adalah sebuah contoh dari sekian banyak pola perilaku yang bisa ditemukan di mana-mana. Hebatnya, perilaku ini dilakukan oleh semua lapisan kelas sosial. Kerapkali terlihat sampah dilempar begitu saja dari jendela mobil-mobil mewah di jalan raya. Pelakunya tidak selalu si sopir, melainkan juga penumpang di belakangnya, termasuk oleh anak-anak.

Cerita tentang anak Singapura di atas dilengkapi dengan cerita lain dari Prof. Franz Magnis-Suseno tentang pengalamannya sendiri. Suatu ketika ia sedang menyeberang jalan di sebuah kota kecil di Jerman. Tanpa sadar, ia mengikuti perilaku orang Indonesia pada umumnya, yaitu tidak perlu melihat-lihat apakah lampu lalu lintas sudah membolehkannya menyeberang atau belum. Tatkala orang-orang melihat kejadian ini, mereka ramai-ramai berteriak. “Hei, apakah kamu tidak malu dilihat oleh anak-anak?” Karena diteriaki demikian, wajah Romo Magnis sontak memerah karena malu.

Anak-anak adalah peniru yang baik. Suatu perilaku yang sering mereka lihat sejak dini akan masuk terinternalisasi ke dalam alam bawah sadar mereka sebagai suatu contoh perbuatan yang harus atau boleh diikuti. Tata nilai akhirnya menjadi jomplang. Apa yang kerap dikuliahkan sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan etiket, tidak etis, atau bahkan ilegal, dalam kenyataannya mereka lihat berjalan baik-baik saja. Tidak ada orang yang peduli untuk mengingatkan.

Mungkin kata kuncinya justru terletak di sini. Ketika perilaku yang tidak sejalan dengan itiket, etika, dan hukum itu berjalan secara masif tanpa ada yang mau mengingatkannya, maka kebiasaan dan budaya kita dalam menghormati tata nilai dan tata norma kita menjadi kian rusak. Akhirnya, antara yang dibenarkan secara kognisi dan yang disikapi secara afeksi, serta yang dieksekusi secara psikomotorik, menjadi kian berjarak. Pada tingkatan tertentu, jarak ini membahayakan rekayasa sosial kita untuk menumbuhkan budaya hukum yang lebih baik.

Apabila usia pelaku perbuatan yang anti-sosial demikian makin hari makin muda, seharusnya hal ini menjadi alarm serius tentang hancurnya peran keteladanan dalam masyarakat kita. Indikasi ini sudah mulai terlihat. Statistik pelaku korupsi di berbagai provinsi memang memperlihatkan bahwa perbuatan manipulatif itu makin meluas dan dilakukan oleh pelaku-pelaku yang makin muda secara usia. Artinya, tidak pelak lagi bahwa berhukum adalah berketeladanan.

Semua produk hukum, baik dalam tingkatan yang paling dekat dengan keseharian kita—seperti aturan berlalu lintas, sampai pada yang paling kompleks—seperti aturan berkonstitusi, menuntut adanya rekayasa sosial (social engineering) yang oleh Bung Karno disebut sebagai pembangunan karakter berbangsa (national characther building).  Sebagian besar karakter tersebut pada hakikatnya berskala universal, tetapi ia bisa berkarakter Indonesia jika dikaitkan ke konteks keindonesiaan. Keteladanan tidak bisa mengandalkan pada teks. Keteladanan selalu muncul dalam konteks.

Nah…, teks beritiket, beretika, dan berhukum kita mungkin saja bisa diformulasi demikian kaya nilai. Namun, tatkala konteks untuk menjalankan etiket, etika, dan hukum itu tidak pernah kondusif dan konsisten dengan nilai-nilai yang dipersepsikan masih eksis di tengah-tengah kita, maka bukan tidak mungkin kita hanya pandai berteori tentang apa yang baik dan buruk, tetapi gagal ketika harus mengeksekusinya. Gagal untuk menuangkannya ke dalam sebanyak mungkin teladan! Inilah yang selayaknya kita khawatirkan. Jangan-jangan, apa yang diceramahi oleh budayawan Mochtar Lubis pada tanggal 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki, tentang sekian banyak ciri manusia Indonesia, makin mendekati kebenaran. (***)


Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close