HAL IHWAL KEADILAN
Oleh SHIDARTA (Mei 2014)
Beberapa hari lalu, saya menyempatkan diri mampir di sebuah toko buku di pojok toserba di jalan Setiabudi, Bandung. Di sini dipajang majalah Scientific American, edisi Mei 2014. Pada halaman 65 dari majalah ini terpampang satu kolom pendek tulisan Michael Shermer, seorang pengelola majalah “Skeptic” dan penulis buku The Moral Arc of Science. Kolom yang dimaksud berjudul “The Genesis of Justice”.
Apa yang menarik dari kolom ini? Frasa awal yang menyertai tulisan Michael Shermer ini berbunyi: “Before all learning, an infant’s mind has a sense of right and wrong.” Benarkah demikian? Bukankah penganut empirisme berkeyakinan bahwa tatkala manusia lahir, ia sama sekali tidak membawa ide bawaan. Alam pikiran manusia dalam keadaan kosong melompong, seperti meja lilin (tabula rasa) yang belum tergores.
Shermer mengungkapkan suatu eksperimen di Laboratorium Bloom melibatkan bayi-bayi berusia setahun. Di hadapan bayi ini ditunjukkan dua boneka. Boneka pertama menggiring sebuah bola ke boneka kedua. Oleh boneka kedua, bola ini dikembalikan lagi ke boneka pertama. Tiba-tiba boneka pertama ini dengan kasar membuang bola tadi ke tempat lain. Eksperimen ini ingin mengetahui bagaimana reaksi bayi-bayi tersebut terhadap kejadian ini. Ternyata, para bayi ini cenderung tidak menyukai boneka pertama dan mereka membuat gerakan seperti ingin menghukum boneka pertama tersebut dengan memukul kepala si boneka.
Shermer mengaitkan kecenderungan ini sebagai suatu sikap keberpihakan terhadap keadilan, yang konon tidak perlu diajarkan. Artinya, manusia pada galibnya adalah mahluk yang menyukai kebaikan dan membenci keburukan. Inilah “genesis” keadilan yang dimaksud.
Aristoteles, seorang filsuf besar era Yunani Kuno, suatu ketika menyatakan bahwa bertindak tidak adil berarti mengambil sesuatu melebihi hak yang seharusnya. Jika pemaknaan ini dibalik dan diubah menjadi kalimat positif, berarti bertindak adil adalah perbuatan memberikan hak penuh kepada yang patut menerimanya.
Kata “hak” di sini dapat dipersandingkan dengan “kepentingan”. Sekalipun keduanya tidak identik, tetapi pada setiap hak terkandung perlindungan kepentingan di dalamnya. Setiap kepentingan pasti memuat label hak kepada subjek pengemban kepentingan itu. Semua perlindungan hak adalah perlindungan kepentingan.
Kaum naturalis dalam pemikiran hukum meyakini bahwa kepentingan sudah ada sejak konsepsi sebagai proses asal muasal manusia terjadi. Muncullah ide tentang “the right to be born after conception!”. Inilah hak paling asasi. Sayangnya, tidak semua orang menyepakai bahwa hak ini muncul begitu saja tanpa melalui positivitas administrasi ketatanegaraan terlebih dulu. Hak moral tidak bisa serta merta mengikat tanpa terlebih dulu melalui proses formalitas. Bagi mereka, hak moral (moral rights) baru layak disebut ada, setelah berubah wujud menjadi hak yuridis (legal rights). Proses positivitas ini antara lain harus dituangkan ke dalam konstitusi atau konvensi internasional yang diratifikasi menjadi peraturan perundang-undangan.
Jika kembali ke kolom Michael Schermer di atas, maka jelas bahwa keadilan akan sangat kering jika hanya didekati melalui kaca mata hukum positif. Awalan keadilan tidak berasal dari hukum, melainkan berasal dari “a sense of right and wrong; a sense of good and bad”. Repotnya, semua yang bernuansa “sense” mengandung karakteristik subjektif. Apa yang yang dianggap logis dan etis pada suatu komunitas akan berbeda dengan komunitas lainnya. Oleh sebab itu, para pemikir filsafat hukum mencoba menghindar untuk mendiskursuskan substansi keadilan, melainkan lebih mempersoalkan bagaimana harus mendistribusikan kepentingan-kepentingan kepada semua orang yang berhak, tanpa menyebabkan ada pihak yang dirugikan.
Teori-teori keadilan lalu muncul untuk menjawab persoalan ini. Teori liberal, misalnya, akan menjawab secara berbeda dengan teori komunitarian. Karen Lebacqz dalam bukunya The Six Theories of Justice menyebut sedikitnya ada enam teori keadilan, yang juga sebenarnya masih belum mampu menjawab hal ihwal keadilan secara lengkap dan memuaskan.
Semua hanya berbicara tentang indikator-indikator pembagian keadilan, tetapi tidak berdaya ketika harus mendefinisikannya. Atau… barangkali, kita memang tidak membutuhkan definisi yang njelimet dan beraneka ragam, tetapi cukup bersikap dan bertindak natural seperti ditunjukkan para bayi di Laboratorium Bloom. (***)
Published at :