PRASASTI GUNTUR TAHUN 907 DAN PENGHARGAAN PADA YURISPRUDENSI
Oleh SHIDARTA (April 2014)
Apabila di masa sekarang yurisprudensi diterbitkan dalam bentuk buku dua tahun sekali oleh Mahkamah Agung, maka lebih dari sebelas abad lalu, sangat mungkin telah muncul yurisprudensi ala Indonesia yang lebih fenomenal. Salah satu “yurisprudensi” tertua yang bisa ditelusuri sampai saat ini tertuang dalam prasasti beraksara Jawa Kuno, yang dikenal dengan sebutan Prasasti Guntur, yang menurut tarikh Masehi dibuat pada tahun 907 atau tahun 829 Saka. Prasasti ini dibuat dalam era kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno.
Dalam buku Marwati Djoened Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto (2008), serta Boechari (2012), diungkapkan sekilas cerita yang tertuang di prasasti tersebut. Dalam prasasti tersebut terungkap sebuah putusan pengadilan (jayapãtra) terkait kasus utang piutang. Seorang kreditur (bernama Shan Dharma; juga tertulis Sang Dharmma) menagih utang kepada sepasang suami isteri (Samgat Pinapan dan Pu Gallun) atas utang yang pernah dibuat oleh isteri Samgat Pinapan sebelumnya yang sudah meninggal bernama Si Campa. Dari perkawinan sebelumnya, Samgat Pinapan tidak dikarunia anak. Samgat Pinapan tidak bersedia melunasi utang ini karena yang berutang adalah Si Campa. Perkara ini bergulir ke pengadilan.
Shan Dharma ternyata dikalahkan oleh hakim karena beberapa alasan. Pertama, karena Shan Dharma tidak hadir pada saat ia mengajukan gugatan. Kedua, saat Si Campa mengikat utang piutang dengan Shan Dharma, suaminya tidak diberi tahu sama sekali. Selain itu, hakim juga melihat bahwa pasangan ini tidak dikarunia keturunan, sehingga motif si isteri untuk berutang layak untuk dipertanyakan. Apabila pasangan itu memiliki anak, maka isteri mungkin harus berutang untuk mencukupi kepentingan anak, padahal anak adalah bagian dari tanggung jawab suami. Artinya, jika ia berutang bukan atas kepentingan anak, maka utang itu tidak layak dibebankan kepada suaminya.
Mahkamah Agung belum lama juga membuat putusan yang sedikit berbeda untuk suatu kasus utang piutang. Seorang suami berutang dengan menjaminkan harta bersama dalam perkawina, tetapi isteri ini tidak tahu menahu tentang utang tersebut. Hanya saja, isteri ikut menikmati hasil utang yang dilakukan suaminya. Mahkamah Agung menyatakan, dalam hal demikian isteri pun wajib menanggung utang ini. Jadi, dibandingkan dengan cerita di Prasasti Guntur, unsur “ikut menikmati atau tidak ikut menikmati utang” tersebut menjadi hal baru yang secara tidak sadar telah muncul dalam yurisprudensi Mahkamah Agung.
Kembali ke cerita tentang Prasasti Guntur tadi, muncul pertanyaan lain yang mengusik rasa penasaran kita, yakni apa yang menarik dari putusan ini sehingga layak untuk diprasastikan? Menurut Pusponegoro dan Susanto (2008), hal ini pasti karena ada pasal dalam aturan hukum yang menyatakan utang isteri yang dibuat tanpa sepengetahuan suami, apalagi mereka itu tidak mempunyai anak, maka utang itu tidak menjadi tanggung jawab suami. Hanya saja, kedua penulis ini tidak dapat menemukan di mana aturan ini dicantumkan. Aturan ini tidak ditemukan dalam referensi yang diacu keduanya, yaitu dalam naskah hukum yang diterbitkan oleh Jonker dan dalam Bab VIII Manawadharmmasastra.
Oleh karena Pusponegoro dan Susanto bukan ahli hukum, boleh jadi mereka tidak menyadari bahwa jayapãtra tersebut memang tidak bersandar pada pasal aturan perundang-undangan sebagai produk legislasi Kerajaan Mataram Kuno. Jayapãtra itu boleh jadi adalah suatu yurisprudensi, yakni putusan yang menjulang dan mencerahkan (landmark decision). Hal ini cukup masuk akal karena memang hanya putusan demikian yang layak dipilih untuk diprasastikan, sehingga pesan marwah kebijaksanaan yang terkandung di dalamnya akan mampu menembus zaman.
Yurisprudensi mutlak memuat penemuan hukum. Dalam putusan ini jelas hakim ingin menerobos kekakuan asas hukum bahwa segala utang wajib dibayar. Sekalipun demikian, hanya kreditur yang beritikad baik yang dilindungi oleh hukum. Demikian juga, pada masa itu seorang isteri berada dalam tanggungan suami (bahkan ketentuan ini masih diadopsi dalam Burgerlijk Wetboek), sehingga jika ada utang yang dilakukan seorang isteri tidak dalam kapasitasnya sebagai isteri, melainkan lebih untuk kepentingan pribadi, maka selayaknya utang itu juga menjadi tanggung jawab pribadinya. Di sisi sebaliknya, apabila seorang kreditur mengikatkan diri pada perjanjian utang piutang, padahal diketahuinya bahwa pihak yang berutang itu memiliki suami, maka sepantasnya ia melibatkan suami tersebut dalam perjanjian ini.
Pola pikir yang diungkapkan dalam jayapãtra tersebut sampai sekarang masih valid dalam praktik hukum. Sekalipun ada himbauan untuk memberlakukan BW lebih sebagai kitab hukum daripada kitab undang-undang (SEMA No. 3 Tahun 1963), para notaris kerap masih meminta persetujuan tertulis suami terhadap utang yang dibuat seseorang dalam kapasitas sebagai pribadi, apalagi jika untuk utang itu ada jaminan yang diletakkan.
Pesan yang ingin disampaikan dalam tulisan ini ingin dikerucutkan pada kenyataan historis bahwa negara ini sudah sejak sebelas abad lalu telah memberi penghargaan tinggi terhadap eksistensi yurisprudensi. Selayaknya, pada masa sekarang inipun antusiasime kita terhadap lahirnya yurisprudensi yang memuat penemuan-penemuan hukum yang menjulang dan mencerahkan, akan makin digairahkan. (***)