PARADOKS FENOMENA ARTIDJO
Oleh SHIDARTA (Maret 2014)
Bertempat di Gedung Bidakara, Jakarta, pada tanggal 4 Maret 2014 diadakan acara diskusi publik dengan tema “Fenomena Artidjo Alkostar: Harapan Penegakan Hukum”. Tuan rumah dari acara ini adalah Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Universitas Islam Indonesia. Oleh karena Artidjo seorang alumnus dari Fakultas Hukum UII, maka tidak mengherankan jika yang hadir pada diskusi ini didominasi oleh kalangan yuris. Ada Mahfud M.D. (mantan Ketua MK), Busyro Muqoddas (Wakil Ketua KPK), dan Suparman Marzuki (Ketua KY). Saya, yang bukan termasuk alumni UII, diundang untuk menjadi salah satu pembicara dalam diskusi ini dan diminta mengupas tentang etika dan budaya hukum. Pembicara dari luar UII lainnya adalah Romo F. Budi Hardiman (STF Driyarkara) dan Habib Riziq Shihab (FPI). Semua pembicara di atas menyampaikan respek terhadap Artidjo dan mendoakan agar beliau tetap konsisten dalam bersikap memerangi kezaliman dengan putusan-putusannya sebagai hakim agung. Tidak ada yang salah dengan semua dukungan tersebut! Namun, saya melihat ada sebuah paradoks yang perlu dijadikan renungan beyond the phenomena.
Di awal paparan pada kesempatan diskusi tersebut, saya menyampaikan sebuah paradoks terkait “fenomena Artidjo” itu. Pada satu sisi, ada kebanggaan (khususnya bagi IKA UII) untuk menampilkan figur Artidjo sebagai hakim agung yang dipandang “berhasil” menyajikan oase bagi masa depan peradilan Indonesia. Di sisi lain, upaya mengangkat figur Artidjo sebagai “fenomena” yang unik dan langka di hadapan publik, sesungguhnya juga telah menampar wajah lembaga peradilan kita. Bayangkan, jumlah hakim agung kita saat ini sudah mendekati angka maksimal 60 orang. Dari jumlah itu, mengapa hanya Artidjo yang muncul di permukaan sebagai hakim agung yang dianggap outstanding di mata publik. Di mana yang lain?
Dalam diskusi tersebut, Artidjo juga mengakui bahwa setiap putusan yang dihasilkannya, di situ selalu ada kerja kolektif. Ia memutus perkara di dalam forum majelis. Artinya, selalu ada hakim-hakim lain yang berada dalam satu alur pemikiran dengan dirinya. Beberapa nama bahkan disebutkan beliau. Persoalannya adalah bahwa bahwa hakim-hakim ini tidak cukup dikenal oleh publik karena sejumlah faktor. Dalam tulisan singkat ini, akan diangkat salah satu di antaranya.
Faktor dimaksud adalah ketiadaan sarana yang elegan bagi mereka untuk diapresiasi oleh publik. Komisi Yudisial dulu pernah diatribusi kewenangan untuk memberikan penghargaan bagi hakim-hakim yang berkinerja baik. Kewenangan ini lalu dicabut. Salah satu penyebabnya karena tidak disetujui oleh Mahkamah Agung. Padahal, di luar Komisi Yudisial selalu muncul institusi tidak resmi yang memberikan penghargaan versi mereka sendiri-sendiri. Majalah Tempo, misalnya, pernah membuat daftar hakim-hakim terbaik versi mereka. Acara Kick Andy di Metro TV juga pernah menampilkan figur hakim yang layak dijadikan inspirasi. Konsorsium Hukum Progresif yang didirikan di Semarang tahun lalu juga berinisiatif melakukan hal serupa. Bahkan, gelaran IKA UII kali inipun sesungguhnya secara langsung atau tidak langsung, juga punya maksud ke arah yang sama setelah UII-Award yang ingin dianugerahkan ke Artidjo ditolak oleh yang bersangkutan. Artinya, daripada muncul banyak versi “penghargaan tidak resmi” dengan tolok ukur yang kerap membingungkan, mengapa tidak ada penghargaan yang resmi dari lembaga negara yang memang diberi kewenangan untuk itu?
Di mata masyarakat, kewenangan Komisi Yudisial untuk memberikan penghargaan kepada hakim-hakim yang berkinerja baik, merupakan sebuah jalan ke arah perimbangan sikap objektif yang penting untuk ditunjukkan. Komisi ini bukan hanya lembaga pengawasan yang secara negatif merekomendasikan sanksi-sanksi bagi hakim-hakim pelanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Lembaga ini juga perlu memberikan advokasi dan penghargaan bagi hakim-hakim yang berkinerja baik.
Mungkin saja akan ada penyangkalan di kalangan para hakim bahwa mereka sesungguhnya tidak butuh penghargaan-penghargaan demikian. Hal ini boleh jadi berlaku juga untuk figur seperti Artidjo. Penghargaan demikian memang pertama-tama tidak dimaksudkan untuk tujuan mengkultuskan seseorang. Penghargaan ini justru dibutuhkan untuk menjadikannya simbol kebangkitan ekspektasi publik dan inisiasi bagi munculnya efek bola salju bagi kewibawaan lembaga hukum, atau lebih khususnya lagi, lembaga peradilan di Tanah Air. Untuk itulah, penghargaan ini tidak boleh ditetapkan secara asal-asalan.
Seorang hakim—siapapun orangnya—boleh saja menjadi media darling karena misalnya, untuk beberapa kasus ia berani menghukum berat orang-orang yang terlanjur dijadikan public enemies. Sangat disayangkan apabila tolok ukur dari popularitas itu hanya berangkat dari berat ringan amar putusan. Hal seperti ini tentu belum menyentuh taraf akurasi yang dibutuhkan, khususnya bagi kalangan akademis. Kita memang perlu berhati-hati karena di tengah iklim okupasi politik dan bisnis terhadap media massa kita dewasa ini, dapat muncul bentuk-bentuk penghargaan tidak resmi dari insan-insan pers tersebut untuk kepentingan masing-masing. Fenomenanya lebih kurang mirip dengan anugerah doktor HC yang kerap diobral oleh perguruan tinggi ke figur-figur tertentu demi alasan-alasan pragmatis.
Lain halnya apabila tolok ukur yang ditampilkan berangkat dari indikator yang lebih terukur dan objektif. Misalnya, seberapa hakim agung tertentu mampu membawa perubahan dalam institusi peradilan. Variabelnya bisa dilacak antara lain dari kontribusinya terhadap pengikisan tumpukan perkara di Mahkamah Agung yang saat ini konon sekitar 2.500 sampai 3.000 perkara per tahun. Bisa juga ditelisik indikator hakim dalam memproduksi yurisprudensi. Untuk itu variabelnya dapat berupa banyaknya putusan-putusan di peradilan tingkat bawah yang mengutip putusan itu sebagai dasar hukum. Lalu soal kualitas penemuan hukum yang dikandung dalam tiap yurisprudensi tadi, terkait orisinalitas dan keberaniannya membuat terobosan di tengah rigiditas tekstual undang-undang yang mengabaikan konteks. Kemudian soal integritas sikap dan kepribadian hakim itu dalam kesehariannya. Misalnya, soal gaya hidup (life-style), afiliasi politiknya, ketaatannya dalam pelaporan harta kekayaan, dan sebagainya.
Lewat jejaring, tenaga ahli, dan konsultan/analis yang dimilikinya, Komisi Yudisial memiliki cukup banyak sumber daya untuk menganugerahi penghargaan dengan ukuran yang lebih komprehensif. Bahkan, penghargaan seharusnya tidak hanya ditujukan kepada para hakim secara personal, tetapi bisa ditujukan pada putusan sebagai karya kolektif hakim, dan juga pada institusi peradilan secara kelembagaan. Dengan demikian, akan ada penghargaan untuk putusan terbaik, hakim terbaik, dan institusi pengadilan terbaik. Hakim dan lembaga peradilan yang telah mendapat penghargaan ini tentu saja wajib menjaga prestasi ini dengan sebaik-baiknya. Tidak dalam format populer yang menjadikan mereka sebagai media darling semata, tetapi dalam format yang terukur dan dapat dipertanggungjawabkan secara metodologis (***).