MENCARI LEMBAGA ALTERNATIF UNTUK SERTIFIKASI HALAL
Oleh SHIDARTA (Maret 2014)
Jika jumlah penganut enam agama yang berada di bawah penanganan Kementerian Agama Republik Indonesia diperbandingkan, maka penganut Islam di Tanah Air menempati angka tertinggi, yakni mencapai lebih dari 207 juta jiwa. Setelah itu adalah penganut agama Kristen (16,5 juta), Katolik (7 juta), Hindu (4 juta), Buddha (1,7 juta), dan Konghucu (117 ribu). Dengan jumlah sebanyak itu, wajar jika ada desakan agar kenyamanan penganut agama mayoritas ini dalam mengkonsumsi pangan benar-benar dilindungi.
Dalam tulisan ini sengaja digunakan kata “nyaman” yang sebenarnya lebih berkesan psikologis. Tentu saja, efek psikologis ini lebih bersifat subjektif. Demikianlah, para konsumen Muslim yang mendapati pangan yang diproduksi dan diedarkan di Indonesia pertama-tama memang harus merasa nyaman secara psikologis karena merasa ada jaminan bahwa produk pangan yang akan dikonsumsinya terpenuhi syarat halal dan kebaikannya (halalan thoyyiban). Halal dapat berkonotasi prosedural dalam arti cara perolehan dan produksinya harus sesuai syariah, tetapi juga dapat bermakna denotatif. Dalam hal ini ditetapkan ada sejumlah bahan makanan yang dianggap non- halal, sehingga secara residual, bahan-bahan lainnya layak dianggap halal.
Persoalannya sudah berawal di sini! Oleh karena bahan pangan yang halal jumlahnya lebih banyak daripada yang non-halal, maka seharusnya bahan pangan yang lebih sedikit inilah yang perlu diatur lebih ketat. Penalaran demikian ini berlaku juga dalam hukum. Apabila suatu ruas jalan boleh dilewati semua kendaraan, maka seharusnya tidak perlu ada rambu yang membolehkan kendaraan-kendaraan tertentu boleh lewat di situ. Baru apabila ada jenis kendaraan tertentu tidak diizinkan lewat di ruas jalan tersebut, rambu larangan perlu dipasang. Berdasarkan nalar ini, seharusnya produk pangan yang non-halal atau rumah-rumah makan yang menjual pangan non-halal, perlu dilekatkan tanda stiker “non-halal” dan bukan sebaliknya.
Persoalan kedua adalah siapa yang seharusnya mensertifikasi halal (atau mungkin non-halal) itu? Majelis Ulama Indonesia (MUI) memandang dirinya yang memiliki kewenangan tersebut dan secara de facto memang sudah menjalankan fungsi ini. MUI jelas bukan institusi negara, tidak seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) yang memang diberi otoritas untuk mengawasi produksi dan peredaran obat dan pangan (termasuk kosmetik) di Indonesia. Sebagai badan yang tidak berada di bawah kendali penuh negara—kendati mendapat bantuan pembiayaan dari negara—apa yang dilakukan oleh MUI sangat bergantung pada pengakuan sosiologis. Dilihat dari aspek ini, seharusnya negara boleh-boleh saja melakukan pemberian sertifikasi seperti yang dilakukan MUI, apalagi dengan biaya yang lebih murah. Badan POM seharusnya adalah lembaga yang paling pas untuk melakukan hal ini. Tentu saja langkah ini tidak lalu berarti menghentikan apa yang sudah dirintis oleh MUI. Tokh jumlah produk yang ingin disertifikasi (dan kemudian dilabelkan) demikian banyaknya, mulai dari karya industri kecil rumahan sampai pabrikan kelas kakap.
Sebagai badan non-negara yang mengandalkan pengakuan sosiologis, maka MUI tidak harus memonopoli pemberian sertifikat halal ini. Baru-baru ini, Nahdlatul Ulama (NU) juga berinisiatif mendirikan badan halal. Badan POM seharusnya tidak boleh ketinggalan untuk menyediakan fasilitas serupa. Dengan demikian, akan ada kompetisi yang sehat di antara badan-badan ini untuk memberikan layanan terbaik kepada pelaku usaha dan konsumen. Badan-badan yang mampu mendirikan dan memanfaatkan laboratorium terbaik dengan hasil analisis yang akurat, pasti akan dipercaya oleh konsumen. Dari pihak pelaku usaha, ketersediaan alternatif badan-badan sertifikasi ini akan membatasi kesempatan komersialisasi oleh satu institusi sebagaimana dialamatkan terhadap MUI dalam pemberitaan The Australian Daily tanggal 24 Februari 2014 lalu. (***)
Published at :