HAK KONSUMEN ATAS INFORMASI DAN PEMBERANTASAN CALO TIKET
Oleh SHIDARTA (Februari 2014)
Di atas udara Surabaya menuju ke Jakarta, saya mendapati teman ngobrol di pesawat maskapai baru berinisial “BA”. Cerita yang kami obrolkan dapat saja dianggap sebagai kisah klasik dunia angkutan di Tanah Air. Tapi, bagi saya, tetap ada sisi menarik dari obrolan tersebut.
Hari sudah menunjukkan pukul 21:30. Pesawat Boeing 737-900ER itu baru saja lepas landas dari bandar udara Juanda, Sidoarjo. Pesawat ini hanya terisi dua pertiga. Itupun semua di kelas ekonomi, yang totalnya mampu mengangkut 168 penumpang. Dua belas kursi di kelas bisnis di bagian depan kosong melompong. Teman ngobrol saya, seorang eksekutif muda yang berkantor di daerah Kemayoran, mengeluh mengapa ia tadinya begitu sulit memperoleh tiket pesawat yang tengah kami tumpangi saat itu. “Kalaupun harus duduk di kelas bisnis pun saya Okie!” ujarnya. Petugas di loket (counter) tiket di Terminal I Juanda menyatakan pesawat yang dikelola oleh perusahaan Indonesia (lagi-lagi dengan inisial) LAGF ini sudah terisi penuh. Sebenarnya iapun merasa terpaksa harus menaiki maskapai ini karena maskapai penerbangan langganannya sudah pindah ke Terminal II yang letaknya terbilang cukup jauh. Untuk mencapai terminal itu ia harus memutar arah dengan naik taksi. Ia sudah mencoba menyetop taksi berlabel “BB”, tetapi tidak ada yang bersedia mengantarkannya. Seorang porter menganjurkan menaiki taksi merek lain saja, tetapi ia tidak terlalu yakin dengan saran ini. Konon ada tangga yang menghubungi Terminal I ke Terminal II, tetapi saat itu keadaan sedang tidak berfungsi. Teman baru saya ini tidak mau mengambil risiko kehabisan tiket lagi, sehingga tidak ayal lagi, ia pun mencari bantuan calo. Perjalanan darat yang barusan saja ditempuhnya dari Malang ke Sidoarjo selama tiga setengah jam membuatnya terlalu lelah untuk browsing Internet mencari informasi hal-hal demikian.
Ironis memang! Bandara Juanda yang baru tahun lalu dinobatkan sebagai bandara terbaik se-ASEAN dengan label “ASEAN Airport of the Year” untuk kategori bandara dengan penumpang di bawah 20 juta orang per tahun itu ternyata tidak bisa dibersihkan dari para calo ini. Mereka dengan kasatmata berkerumum di depan loket pembelian tiket. Jumlah bisa belasan orang. Mereka dengan santai dan tanpa tedeng aling-aling menawarkan jasa dengan harga dua sampai tiga kali lipat dari harga normal.
Untuk kasus teman ini, tiket itu sudah dalam kondisi check-in dan sudah pula ditempel airport tax. Artinya, namanya sudah tertera atas nama orang lain. Untuk dapat menembus pemeriksaan, calo bekerja sama dengan petugas keamanan bandara. Petugas berpakaian biru laut inilah yang mengantarkan teman ini mulai dari pintu masuk sampai ke ruang tunggu. Uang tiket seharga dua kali lipat dari harga normal ditambah dengan sedikit tips dibayarkan setelah mereka ada di ruang tunggu.
Tentu ada banyak orang yang suatu ketika harus mengalami kejadian seperti teman perjalanan saya tadi. Terjebak pada kondisi kepepet harus pergi ke suatu tempat dan belum siap dengan tiket di tangan; datang ke loket resmi dan mendapat informasi sepihak bahwa semua tiket sudah habis, tetapi sejurus kemudian akan datang para calo menghampiri. Alhasil, ia harus memilih: tidak jadi berangkat atau berangkat dengan tiket via calo.
Saya tahu bahwa dalam moda angkutan penumpang, baik darat, laut, maupun udara adalah bagian dari industri jasa yang bersentuhan langsung dengan konsumen. Sejak tahun 1999, Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 itu ditegaskan bahwa setiap konsumen memiliki hak untuk memperoleh informasi yang benar dari pelaku usaha. Hak ini termasuk dalam hak dasar yang juga pernah diintroduksi oleh John F. Kennedy dalam pidatonya di depan Kongres Amerika Serikat pada tanggal 15 Maret 1962. Seandainya konsumen jasa penerbangan seperti teman ngobrol saya ini data memperoleh informasi yang benar tentang ketersediaan tiket, maka dapat dipastikan ia akan memperoleh tiket dengan harga yang pantas. Hak konsumen untuk membayar sesuai dengan jasa yang diterimanya adalah hak legal yang juga dijamin dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Sempat terpikirkan, apakah tidak mungkin maskapai penerbangan bersikap transparan kepada para calon penumpang yang ingin membeli tiket. Caranya adalah dengan memberi akses kepada calon penumpang untuk melihat langsung ketersediaan tempat (kursi) di penerbangan itu. Kira-kira kondisinya sama seperti tatkala calon penonton ingin membeli karcis film di gedung bioskop. Mereka bisa ikut melihat di layar monitor bangku-bangku mana saja yang masih kosong.
Saya tentu tidak tahu apakah ada alasan ekonomis atau kendala teknis terkait urusan transparansi ticketing seperti ini. Yang terpikirkan di benak saya hanya satu, yaitu bagaimana menjamin konsumen mendapatkan haknya atas informasi yang benar dan membayar sesuai nilai jasa yang dinikmatinya. Konsumen tidak boleh dijebak untuk membayar lebih mahal hanya karena ia tidak bisa memperoleh informasi yang benar. Pelaku usaha yang membiarkan konsumennya dibohongi atau dijebak, jelas bukan pelaku usaha yang layak diapresiasi. Operator Bandara Juanda rasanya perlu memperhatikan cerita klasik ini. Jika tidak, ASEAN Commercial Aviation Award tidak sepantasnya disematkan kepadanya. (***)
Published at :