PEJABAT PUBLIK, BERHENTILAH BERIKLAN!
Oleh SHIDARTA (Februari 2014)
Konon seorang warga dari pedalaman Kabupaten Bandung ditanya oleh seorang caleg dari satu partai politik tentang siapa nama Wakil Gubernur Jawa Barat saat ini. Warga paruh baya tersebut menjawab dengan polos, “Itu tuh… yang ada badaknya,” sambil menunjuk iklan minuman kaleng yang dipajang di dinding sebuah warung di dekat tempatnya berdiri.
Fenomena pejabat publik beriklan terhadap produk-produk komersial sepertinya sudah menjadi pemandangan biasa. Ada menteri yang bangga menjadi bintang iklan jamu tolak angin. Ada juga Ketua DPR yang dipajang untuk ikut mempromosikan produk elektronika.
Aturan hukum tentang iklan memang masih sangat terbatas di negeri ini. Beberapa di antaranya memang dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Pasal 1 butir 5 undang-undang ini menyatakan bahwa siaran iklan adalah siaran informasi yang bersifat komersial dan layanan masyarakat tentang tersedianya jasa, barang, dan gagasan yang dapat dimanfaatkan oleh khalayak dengan atau tanpa imbalan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan. Boleh jadi, pejabat publik yang disebutkan di atas akan mengatakan bahwa ia tidak dalam kapasitas model iklan komersial melainkan iklan layanan masyarakat. Menteri tersebut mengatakan ia menjadi bintang iklan produk yang berorientasi ekspor, sehingga niatnya adalah untuk mengajak produsen nasional berlomba-lomba menjual produknya ke pasaran multinasional. Sang Ketua DPR akan mengatakan bahwa ia bukan menjual produk elektronika, melainkan sedang mengajak masyarakat mencintai produk-produk dalam negeri.
Untuk menguji apakah pandangan demikian dapat dibenarkan menurut persepektif hukum, patut kita lihat kembali bunyi ketentuan Pasal 1 butir 6 dan 7 Undang-Undang Penyiaran. Berdasarkan sifat komersialitasnya, siaran iklan dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu iklan niaga dan iklan layanan masyarakat. Siaran iklan niaga adalah siaran iklan komersial yang disiarkan melalui penyiaran radio atau televisi dengan tujuan memperkenalkan, memasyarakatkan, dan/atau mempromosikan barang atau jasa kepada khalayak sasaran untuk mempengaruhi konsumen agar menggunakan produk yang ditawarkan. Siaran iklan layanan masyarakat adalah siaran iklan nonkomersial yang disiarkan melalui penyiaran radio atau televisi dengan tujuan memperkenalkan, memasyarakatkan, dan/atau mempromosikan gagasan, cita-cita, anjuran, dan/atau pesan-pesan lainnya kepada masyarakat untuk mempengaruhi khalayak agar berbuat dan/atau bertingkah laku dengan pesan iklan tersebut.
Atas dasar itu, iklan niaga adalah iklan promosi barang atau jasa. Sekali sudah ada komponen promosi barang atau jasa ini, maka iklan ini sudah dapat dikategorikan sebagai iklan niaga terlepas di dalamnya ada terselip pesan-pesan positif kepada masyarakat untuk bangga pada produk dalam negeri dan sebagainya. Hal yang sama kurang lebih berlaku bagi dokter yang duduk dalam satu frame iklan produk barang atau jasa di stasiun televisi atau radio. Kendati dokter tersebut tidak sekalipun menyebut-nyebut merek produk itu, tetapi keberadaannya di dalam waktu siaran yang memang sudah diblok untuk kepentingan iklan produk tersebut, sudah dapat dikategorika sebagai model iklan produk ini. Atas dasar itulah, maka semua kode etik profesi terhormat, seperti halnya profesi dokter, melarang penyandang profesi tersebut menjadi bintang iklan, baik dalam arti terang-terangan maupun dikamuflase sebagai penyuluh kesehatan.
Apabila dokter saja dilarang, minimal secara etis, untuk tidak menjadi model iklan niaga, maka seharusnya pejabat publik pun berlaku larangan yang sama. Sebagai pejabat publik, sikap dan perilakunya harus memperlihatkan posisi yang netral terhadap semua warganya. Dapat dibayangkan apa jadinya jika produsen tandingan dari Sidomuncul (misalnya Jamu Jago) yang tiba-tiba meminta Dahlan Iskan untuk ikut menjadi bintang iklannya juga. Apakah Dahlan Iskan harus menerima atau menolak tawaran ini? Jika menerima, berarti ia menjadi bintang untuk dua merek produk berbeda di dalam satu kelas barang yang sama. Jelas hal ini sangat tidak etis. Namun, sebagai pejabat publik yang mengayomi semua warganya, apakah wajar untuk pilih kasih hanya karena produsen yang satu memberinya fasilitas sedangkan yang lain tidak?
Dengan demikian, seseorang yang menjadi pejabat publik seharusnyalah berhenti untuk menjadi model iklan niaga, baik yang eksplisit maupun implisit. Bagi artis-artis yang sudah terlebih dulu menjadi model iklan baru kemudian menjadi pejabat publik, harus pula menghentikan diri dari tayangan iklan komersial tersebut begitu dirinya dilantik sebagai pejabat publik. Jabatan publik adalah sebuah profesi terhormat nan luhur (officium nobile). Larangan etis yang sudah diterima luas telah melarang semua profesi luhur untuk tidak terjebak dalam jeratan-jeratan iklan komersial, sehingga tidak ada alasan bagi pemegang jabatan publik untuk dikecualikan dari larangan ini. Lain halnya kalau profesi ini mengganggap diri mereka bukan lagi profesi terhormat dan luhur. (***)
Published at :