PENGHAKIMAN OLEH PERS NASIONAL: SUATU KRITIK ATAS KEBEBASAN PERS DALAM PEMBERITAAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI
Oleh VIDYA PRAHASSACITTA (Januari 2014)
Pasca reformasi tahun 1998 membawa dampak besar pada kebebasan pers. Pers nasional menganut model libertarian yang bebas dan menomorduakan tanggung jawab dari sebelumnya menganut model soviet komunis yang lebih menitikan pada tanggung jawab ketimbang kebebasan. Kini lima belas tahun setelah reformasi, pers nasional telah menjadi corong dan alat politik bagi pemilik perusahaan pers yang juga merupakan petinggi partai politik yang menjadi peserta pemilu tahun 2014. Hal tersebut terlihat dari tidak proporsionalnya pemberitaan mengenai perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan pejabat yang berkuasa atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari partai pesaing. Pemberitaan-pemberitaan tersebut tidak hanya mengungkap secara terang-terangan nama dan wajah tersangka atau terdakwa tindak pidana korupsi dalam media massa, namun juga menyampaikan fakta saja tetapi juga membuat opini yang mengiring masyarakat untuk menvonis tersangka, terdakwa atau kelompok tertentu bersalah mesikpun pengadilan belum menutuskan hal tersebut. Pemberitaan tersebut merupakan pengabaian dari asas praduga tidak bersalah yang seharusnya menjadi pedoman bagi pers nasional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (“UU No. 40 Tahun 1999”) dan Kode Etik Jurnalistik. Hal ini tentu melanggar hak-hak dasar tersangka dan terdakwa.
Dalam libertarian pers selalu terdapat rambu-rambu hukum. Selain hak jawab dalam UU No. 40 Tahun 1999, rambu lainnya merupakan wewenang badan peradilan untuk memutuskan melalui jalur hukum perdata dengan gugatan perbuatan melawan hukum terkait pencemaran nama baik dan jalur pidana sebagai ultimum remidium melalui delik-delik persnya. Akan tetapi terlalu merdekanya pers di Indonesia menyebabkan rambu-rambu hukum yang ada menjadi tidak efektif.
Oleh karena itu diperlukan peran maksimal dari Dewan Pers untuk melakukan pengawasan akan pelaksanaan dari asas praduga tidak bersalah. Dewan Pers juga harus memaksimalkan perannya untuk mendidik pers nasional akan tanggung jawabnya sosialnya kepada masyarakat dengan memberikan pemberitaan yang tidak menghakimi dan cerdas. Pada akhirnya untuk membuat pers nasional menjadi pers yang independent maka adanya badan peradilan profesi pers yang memiliki kewenangan untuk menentukan pelanggaran atas Kode Etik Jurnalistik. Keberadan lembaga peradilan ini merupakan salah satu bentuk pertanggungjawab pers sosial terhadap masyarakat.(***)
Published at :