BENTURAN TAFSIR TENTANG MAKNA PASAL 155 AYAT (2) UU KETENAGAKERJAAN
Oleh VIDYA PRAHASSACITTA (Januari 2014)
Pasca putusan Mahkamah Konstitusi No. 37/PUU-IX/2011 tanggal 19 September 2011 memilik daya tarik bagi kita semua untuk melihat implementasi dari putusan tersebut. Mahkamah Konstitusi melalui putusannya telah memutuskan frase “belum ditetapkan” pada Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU No. 13 Tahun 2003”) bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai belum berkekuatan hukum tetap, namun bagaimana sikap Mahkamah Agung atas putusan Mahkamah Konstitusi tersebut?
Ternyata Majelis Hakim Agung menafsirkan hal yang berbeda dengan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Perbedaan penafsiran tersebut mengenai pemberian upah selama proses pemutusan hubungan kerja atau yang dalam praktek dikenal sebagai upah proses. Besarnya upah proses yang ditafsirkan oleh Mahkamah Agung bukanlah sampai suatu putusan berkekuatan hukum tetap tetapi hanya sebanyak enam bulan upah saja. Dalam putusan-putusan Mahkamah Agung tersebut teridentifikasi beberapa dasar hukum yang memungkinkan bagi hakim untuk menafsirkan ketentuan Pasal 155 ayat (2) tersebut berbeda dengan penafsiran Mahkamah Konstitusi. Pertama, Majelis Hakim Agung mendasarkan pada interpretasi historis atas ketentuan Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 16 Kepmenakertrans No. KEP-150/Men/2000. Kedua, Majelis Hakim Agung mendasarkan pada interpretasi sistematis menafsirkan ketentuan Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 dengan berdasar pada asas no work no pay Pasal 93 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003. Ketiga, Majelis Hakim Agung memiliki keterbatasan dalam menafsirkan atas dasar asas larangan ultra petitum dan prinsip rule of law karena pekerja dalam gugatannya tidak memohon agar pengusaha dihukum membayar upah proses sampai dengan putusan berkekuatan hukum tetap. Terkahir, Majelis Hakim Agung memiliki keterbatasan dalam menafsirkan ketentuan Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 tersebut karena pada tingkat pemeriksaan kasasi Majelis Hakim Agung hanya berhak memeriksa mengenai penerapan hukumnya saja.
Untuk memperkecil ketidakselarasan interpretasi antara dua puncuk kekuasaan kehakiman di Indonesia tersebut diperlukan langkah-langkah antara lain. Pertama dilakukan pencabutan atau setidak-tidaknya revisi terhadap ketentuan Pasal 16 Kepmenakertrans No. KEP-150/Men/2000 sehingga tidak terjadi pertentangan dengan penafsiran ketentuan Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 pasca dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi. Kedua perlu dibuat suatu peraturan yang mengatur secara jelas mengenai besarnya upah proses selama perselisihan PHK sampai berkekuatan hukum tetap yang dapat mengakomodir keadilan tidak saja bagi pekerja tetapi pengusaha sehingga bisa dijadikan acuan bagi para Hakim di Pengadilan Hubungan Industrial maupun oleh Majelis Hakim Agung dalam putusan kasasi. Terakhir dalam jangka panjang perlu dilakukan revisi terhadap UU No. 13 Tahun 2003 yang tidak hanya untuk menyelaraskan ketentuan Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 namun juga ketentuan dalam pasal-pasal lainnya dengan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi. (***)
Published at :